Broadcast Viral Cabe Bubuk Picu KLB Difteri, Kepala Dinkes: Itu Hoax
- ANTARA FOTO/Asep/Fathulrahman
VIVA – Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Sri Widyastuti menegaskan bahwa informasi seputar kasus difteri di DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah hoax alias berita bohong. Menurutnya, kabar tersebut tak jelas kebenarannya dan pihak Dinas Kesehatan DKI pun tak pernah membagikan informasi itu.
"Hoaks," ujar Widyastuti kepada VIVA, Kamis 17 Oktober 2019.
Sebelumnya, kabar beredar luas di pesan singkat aplikasi Whatsapp bahwa terdapat 600 anak terkena difteri. Bahkan dinyatakan 38 orangnya meninggal dunia.
Tak berhenti di situ, kabar tersebut juga menyebutkan bahwa imunisasi massal dilakukan oleh pihak Dinkes DKI Jakarta guna mencegah hal tersebut terjadi lebih luas.
Berikut informasi yang beredar luas:
"Dki Jakarta & Jabar. Ada 600 yg kena. RS penuh dg kondisi anak2 Difteri. 38 sdh meninggal. Jadi memang kejadian Luar Biasa. Dinkes DKI Jakarta mengadakan Imunisasi masal sd 11 Des. Usia 1 sd 19 tahun.
Hati2 jgn jajan yg pk cabe bubuk, Jangan jajan pk cabe kering seperti cabe di Tahu bulat, Otak2, dsb.
Pokoknya jangan pake *"Cabe Bumbu Kering"*. Karena penuh penyakit dr Kencing Tikus, kasusnya banyak yg meninggal karena penyakit *"Difteri...,” tulis informasi itu.
Namun semua informasi itu adalah berita bohong. Dokter spesialis tumbuh kembang anak, dr. Soedjatmiko, SpA(K), M.Si, penyakit difteri sangat berbahaya, karena mudah menular. Terlebih, penyakit ini disebabkan bakteri yang menyerang tenggorokan.
Jika ada anak yang sudah terserang difteri, ketika dia berbicara atau bersin, racun ini akan tersebar keluar. Bakteri difteri yang mengeluarkan racun ini akan tersebar ke mana-mana. Racun juga kemudian bisa menyerang otot jantung, sehingga pada minggu kedua bisa terjadi kerusakan jantung yang menyebabkan kematian.
Soedjatmiko menjelaskan, ada dua upaya utama dalam mencegah penyebaran difteri. Pertama adalah segera mendeteksi suspect, atau tersangka difteri, periksa dan obati. Kalau sudah terbentuk, kumannya segera dimatikan dan racunnya dinetralisir.
"Semua yang dicurigai harus segera periksa. Caranya adalah semua orangtua meminta anaknya membuka mulut sambil bilang 'A' berkali-kali, lihat apakah tenggorokan, lubang hidungnya, ada lapisan putih tebal," lanjutnya.
Jika ada, segera bawa anak ke puskesmas dan lakukan pemeriksaan laboratorium. Bagi para dokter, Soedjatmiko menyarankan, kalau mencurigakan, amankan dengan memberikan obat dan rawat anak. Matikan kumannya dengan memberikan antibiotik, dan netralisir racunnya menggunakan anti difteri serum (ADS).
Kemudian, lakukan isolasi pada pasien dan jangan dijenguk oleh siapa pun. Ini untuk mencegah, agar tidak menjalar ke mana-mana. Semua tenaga kesehatan yang merawat, juga harus diperiksa secara periodik, tertular atau tidak harus segera vaksinasi.
"Orangtua dan semua keluarga pasien juga harus diberikan vaksin, mendapatkan antibiotik untuk mematikan kuman dengan tujuan agar tidak menyebar ke tempat lain," tambah Soedjatmiko.
Para guru dan siswa tempat anak suspect difteri juga harus melakukan pemeriksaan. Selain itu, juga diberikan antibiotik, juga vaksin.
Langkah kedua dalam pencegahan penyebaran difteri adalah Outbreak Response Immunization (ORI). Mereka yang bukan pasien dan tidak kontak dengan pasien, juga harus dilindungi dengan memberikan suntikan tambahan tiga kali, walaupun sudah melakukan imunisasi lengkap.