Alasan IDI Tolak Jadi Eksekutor Kebiri Kimia, Tak Sesuai Kode Etik
- Pixabay/pexels
VIVA – Predator seks dari Mojokerto divonis hukuman kebiri kimia usai terbukti memperkosa sembilan anak. Kebiri kimia tersebut dimaksudkan agar pelaku jera dan tak lagi mengulangi perbuatannya.
Namun tindakan kebiri kimia ini menimbulkan kontroversi terutama di kalangan medis. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempertanyakan putusan tersebut lantaran hukuman itu dianggap tak menjamin hasrat dan potensi pelaku untuk mengulangi perbuatannya bakal hilang. Tak hanya itu, efek samping yang timbul juga patut diperhitungkan.
"Orang yang hormon testosteron rendah terancam penyakit metabolik. Penyakit metabolik hadir karena hormon turun dengan efek samping termasuk keropos, bad mood, kulit kering," ujar Spesialis Andrologi, dr. Nugroho Setiawan Sp.And., dalam acara Indonesia Lawyers Club di tvOne, Selasa 26 Agustus 2019.
Lebih lanjut, ia juga mempertanyakan soal tujuan dilakukannya kebiri kimia. "Perlu dipertimbangkan soal kebiri ini apa sih tujuannya? Menurut kami dari segi kedokteran itu tidak layak dilakukan karena membuat orang sakit dengan melakukan hal-hal yang menimbulkan risiko. Ini tidak semata-mata efek obat tapi juga ada efek hormon yang rendah yang berujung pada kondisi tubuh," ujarnya.
Sementara itu Ketua Biro Hukum dan Pembinaan Anggota IDI dr HN Nazar, mengatakan pada dasarnya IDI support hukuman tambahan untuk memberatkan pelaku. Namun secara  profesional dokter punya kode etik, dan masih pada pendiriannya menolak menjadi eksekutor terkait kasus kebiri kimia ini.
"Kami punya kode etik dan sumpah dokter. Apabila melanggar etika dan sumpah, siapapun itu tidak layak lagi menjadi dokter," ujarnya.
Namun bukan berarti apatis, ia mengatakan kalau IDI tetap bisa dilibatkan tapi bukan sebagai eksekutor. "Sebaiknya untuk proses teknis bisa melibatkan petugas kesehatan yang tidak terkait sumpah profesi."