Keputusan Pemerintah Setop Obat Kanker Usus Dinilai Tidak Tepat
- Pixabay/pexels
VIVA – Keputusan pemerintah untuk menghapus obat terapi target kanker kolorektal (usus besar), bevacizumab dan setuksimab dari daftar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai tidak tepat.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Yayasan Kanker Indonesia Prof Dr dr Aru Sudoyo, SppD, K-HOM, FINASIM, FACP saat ditemui di Acara ROICAM di JW Marriott, Jakarta Selatan, Jumat, 19 Juli 2019.
"Menurut saya ini tidak tepat pemberian informasi obatnya langsung di-setop. Mestinya pelan-pelan, jadi pasien lama masih bisa gunakan. Terus yang baru itu diatur lagi syaratnya," ungkap Aru.
Ia mengatakan, Bevacizumab dan Cetuximab sebenarnya obat yang dianggap cukup efektif untuk menambah harapan hidup pasien. Namun, ia juga menyadari bahwa beban pembiayaan obat ini cukup tinggi.
"Saya lihat dari dua sisi, Dua obat ini survival-nya lebihnya tiga bulan. Apalagi untuk orang yang kita cintai. Ini harga obat sekali infus Rp35 juta cetuximab, kalo bevacizumab Rp20-25 juta," katanya.
Sementara itu rata-rata penggunaan obat ini untuk satu pasien minimal enam kali. Sehingga beban pembiayaan obat ini dinilainya juga cukup tinggi. Untuk itu, ia menyarankan pemerintah Indonesia agar berkaca dari negara lain. Caranya yakni bekerja sama dengan asuransi swasta yang memanfaatkan cost sharing.
"BPJS Kesehatan biar tidak bangkrut gara-gara menanggung pasien, pemerintah itu kerja sama dengan asuransi swasta. Sehingga asuransi swasta bisa hidup dan cost sharing, sehingga bisa lindungi semua pasien,"kata Aru.
Sebagai informasi, penghapusan kedua obat itu dari terapi target kanker usus besar pasien JKN termuat dalam Keputusan Menkes No HK.01.07/MENKES/707/2018. Kebijakan itu sempat ditunda setelah menuai kritik dari berbagai pihak. (ldp)