Defisit BPJS Kesehatan Akibat Penyakit Katastropik?
- ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
VIVA – Pada Mei 2019, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengumumkan hasil audit terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atas temuan defisit anggaran sebesar Rp 9,1 triliun. Penyebabnya ditengarai besarnya biaya pelayanan kesehatan akibat penyakit tidak menular.
Disebutkan bahwa alasan besarnya biaya pelayanan kesehatan karena menanggung tingginya jumlah penduduk yang menderita penyakit tidak menular yang katastropik seperti jantung, stroke, dan kanker. Selama tahun 2018 saja, tercatat Rp. 20,4 trilliun telah dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik.
Di antara berbagai penyakit katastropik tersebut, kanker paru masih menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia dengan 1,8 juta jiwa meninggal di tahun 2018 akibat penyakit ini. Data World Health Organization (WHO) di 2018 memperlihatkan bahwa rokok merupakan penyebab utama dari kanker paru-paru, dan berkontribusi lebih dari 2/3 kematian terkait kanker paru-paru secara global.
"Perokok juga akan terekspos ancaman kanker 13 kali lipat lebih tinggi dibandingkan non-perokok," ujar Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), dikutip dari siaran pers yang diterima VIVA, Kamis 20 Juni 2019.
Sementara itu, Pakar Kesehatan Publik dan Ketua Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI), dr. Rosa Christiana Ginting, Betr.med, MHP, HIA, AAK, menyayangkan adanya ironi di mana rokok adalah salah satu faktor risiko utama penyebab kanker paru-paru, tetapi alternatif solusi bagi para perokok masih sangat terbatas.
"Melihat kondisi BPJS Kesehatan saat ini, kebijakan yang efektif sangat diperlukan untuk mengurangi angka perokok di Indonesia. Namun, kita juga harus mempertimbangkan bahwa perokok sering menghadapi gejala withdrawal yang merupakan akibat dari proses berhenti merokok," paparnya.
Ia menambahkan, berdasarkan pengalaman perokok yang gagal berhenti, gejala seperti tremor, kecemasan, berkeringat secara berlebihan, hiperaktif, peningkatan detak jantung, bahkan mual dan muntah dapat dialami. Ini merupakan variasi dari gejala withdrawal. Maka, lanjutnya, sangat penting untuk melihat alternatif yang tepat guna membantu seseorang berhenti merokok.
Menanggapi epidemi rokok di dalam negeri, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan berbagai program untuk mengurangi prevalensi merokok di Indonesia, seperti hotline telepon untuk konsultasi bagi para perokok yang ingin berhenti, serta komunitas berhenti merokok yang difasilitasi oleh berbagai klinik dan rumah sakit. Namun, implementasi program tersebut masih jauh dari ideal. Pada 2018, WHO melaporkan bahwa terdapat 30,4% perokok Indonesia yang berusaha berhenti merokok, namun hanya 9,4% di antaranya yang berhasil.
Visiting Professor dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Tikki Pangestu yang juga pernah menjabat sebagai Director, Research Policy & Cooperation, WHO menambahkan bahwa pakar kesehatan dan dokter perlu lebih terbuka akan pendekatan lain demi berhenti merokok, termasuk pendekatan yang selama ini dilakukan dan sudah berhasil diimplementasikan di negara maju.
"Sebagai contoh, di Inggris prevalensi perokok dalam beberapa tahun terakhir turun secara drastis. Ada indikasi kuat bahwa Electronic Nicotine Delivery System (ENDS) dapat membantu perokok yang ingin berhenti atau beralih ke produk alternatif. Bukti-bukti ini sudah cukup untuk dijadikan petunjuk bagi para pemegang kebijakan," tambah Tikki.(idp)