Talasemia Masuk Beban Biaya Kesehatan Tertinggi
- U-Report
VIVA – Thalasemia termasuk dalam daftar pembiayaan kesehatan tertinggi di Indonesia. Penyakit kelainan darah ini tepat berada di posisi ke 5 dalam daftar penyakit tidak menular.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dr. Cut Arianie, M.H.Kes mengatakan pembiayaan kesehatan untuk tata laksana thalasemia menempati posisi ke-5 di antara penyakit tidak menular setelah penyakit jantung, kanker, ginjal, dan stroke. Angkanya terus bertambah setiap tahunnya sejak 2014 hingga akhir 2018.
"Biayanya sebesar Rp225 miliar di tahun 2014 menjadi Rp452 miliar di tahun 2015. Pada 2016 menjadi Rp496 miliar, Rp532 miliar di tahun 2017, dan sebesar Rp397 miliar sampai dengan bulan September 2018," katanya pada Hari Thalasemia Sedunia, di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Senin 20 Mei 2019.
Thalasemia merupakan penyakit yang didapatkan secara genetik dan belum bisa disembuhkan sehingga untuk menambah harapan hidup, penyitas thalasemia harus melakukan transfusi darah seumur hidup.
Selain berbiaya mahal, tantangan lain penyakit thalasemia adalah masih banyaknya pembawa sifat thalasemia yang belum terdeteksi, yaitu orang yang secara genetik membawa sifat thalasemia dan tidak menunjukkan gejala tetapi dapat menurunkan thalasemia kepada anak-anaknya.
Untuk satu pasien anak thalasemia mayor, diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah sebesar Rp400 juta per tahun. Biaya ini belum termasuk biaya untuk pemantauan rutin fungsi organ dan tata laksana komplikasi. Sementara itu, biaya yang diperlukan untuk skrining thalasemia hanya Rp400 ribu.
"Oleh karena itu, kita harus menggiatkan upaya skrining thalasemia di Indonesia. Deteksi dini sangat penting untuk mengetahui status seseorang apakah dia pembawa sifat atau tidak, karena pembawa sifat thalasemia sama sekali tidak bergejala dan dapat beraktivitas selayaknya orang sehat," jelas dokter Cut. (ldp)