BPOM: Jumlah Jajanan Takjil Sehat Makin Banyak
- VIVA/ M Ali Wafa
VIVA – Dengan semakin meningkatnya kebutuhan pangan di bulan Ramadan dan menjelang Idul Fitri, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM) melakukan pengawasan intensif. Target intensifikasi pengawasan difokuskan pada pangan olahan Tanpa Izin Edar (TIE) atau ilegal, kedaluwarsa dan rusak, serta pangan jajanan berbuka puasa (takjil) yang kemungkinan mengandung bahan berbahaya seperti formalin, boraks, dan pewarna dilarang seperti rhodamin B dan methanylyellow.
Sampai dengan 10 Mei 2019, BPOM melakukan pemeriksaan terhadap 1.834 sarana ritel dan distribusi pangan yang terdiri dari 1.553 sarana ritel dan 281 sarana gudang distributor atau importir. Hasil pemeriksaan menemukan 170.119 kemasan produk pangan rusak, kedaluwarsa, dan ilegal atau Tidak Memenuhi Ketentuan (TMK) dari 796 sarana distribusi dengan total nilai keekonomian mencapai lebih dari Rp3,4 miliar.
Kepala BPOM RI Penny K. Lukito mengatakan, jika dibandingkan dengan data intensifikasi pangan tahun 2018, terjadi peningkatan jumlah temuan dan besaran nilai keekonomian temuan di tahun ini. Peningkatan jumlah dan nilai keekonomian temuan tersebut merupakan hasil dari semakin meluasnya cakupan pengawasan intensifikasi pangan hingga ke Kabupaten dan Kota.
"Berdasarkan lokasi temuan, pangan kedaluwarsa banyak ditemukan di Kendari, Jayapura, Mimika, Palopo, dan Bima, dengan jenis produk susu kental manis, sirup, tepung, makanan ringan, dan biskuit," ungkap Penny saat konferensi pers di Gedung BPOM, Jakarta, Senin 20 Mei 2019.
Sementara temuan pangan rusak banyak ditemukan di Palopo, Banda Aceh, Bima, Kendari, dan Gorontalo, dengan jenis produk pangan yang rusak yaitu susu kental manis, sereal, minuman teh, ikan dalam kemasan kaleng, dan minuman berperisa. Dan, untuk temuan pangan ilegal banyak ditemukan di Kendari, Tangerang, Makassar, Baubau dan Banjarmasin, dengan jenis produk garam, makanan ringan, cokelat, Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), dan minuman berperisa.
Untuk pangan jajanan berbuka puasa atau takjil, dari 2.804 sampel yang diperiksa oleh BPOM di berbagai kota di Indonesia, masih terdapat 83 sampel (2,96 persen) Tidak Memenuhi Syarat (TMS), yang dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu agar-agar, minuman berwarna, mi dan kudapan. Temuan bahan berbahaya yang banyak disalahgunakan pada pangan yaitu formalin (39,29 persen), boraks (32,14 persen), dan rhodamin B (28,57 persen).
"Apabila dibandingkan dengan data intensifikasi pangan pada tahun 2018, tahun ini terjadi penurunan persentase produk takjil yang tidak memenuhi syarat," kata Penny.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan pemahaman pedagang takjil, yang kebanyakan merupakan ibu rumah tangga, terhadap keamanan pangan semakin meningkat. (row)