Harapan Hidup Baru Pasien Gagal Jantung
- Pexels
VIVA – Gagal jantung atau yang kadang disebut payah jantung merupakan kondisi di mana jantung tidak mampu memompa darah dengan baik ke seluruh tubuh. Tak hanya di Amerika Serikat, di Asia juga masalah gagal jantung cukup besar prevalensinya, lebih tinggi dari negara Barat.
Penyakit ini disebabkan oleh penurunan fungsi pompa jantung atau kekakuan dinding jantung. Penyebab seseorang menderita gagal jantung sebagian besar adalah penyakit jantung koroner. Selain itu, hipertensi juga merupakan salah satu penyebab jantung yang utama.
"Kejadian gagal jantung semakin meningkat, seiring meningkatnya tata laksana yang baik. Darah tinggi, survival bagus, tapi ujungnya gagal jantung. Serangan jantung menurun tapi kejadian gagal jantung terus meningkat," kata Prof.Dr.dr.Yoga Yuniadi, SpJp(K), Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan ahli jantung serta pembuluh darah di RS Columbia Asia Pulomas, Jakarta Timur, Selasa, 2 April 2019.
Selama ini tata laksana gagal jantung dilakukan dengan pengobatan, namun pada kasus tertentu pemberian obat ini tidak bisa memberikan perbaikan harapan hidup, sehingga diperlukan tata laksana lain, yaitu dengan Cardiac Resynchronization Therapy (CRT).
CRT merupakan alat yang direkomendasikan untuk gagal jantung lanjut simtomatik, yang sudah mendapat terapi farmakologis gagal jantung secara optimal. Alat berukuran kecil ini dipasang untuk mengembalikan gerak dinding-dinding jantung agar lebih sinkron.
Alat terbaru ini diklaim lebih canggih, di mana pasien kini bahkan bisa melakukan pemeriksaan MRI yang pada alat sebelumnya pemeriksaan medis ini tidak disarankan.
"Kelebihan CRT dengan Teknologi MultiPoint Pacing ini dapat memberikan manfaat potensial bagi pasien yang tidak merespons, terapi tradisional bi-ventricular (Biv) dan dapat memberikan manfaat tambahan bagi pasien yang merespons terapi tradisional," kata dr. Sunu Budhi Raharjo, PhD,SpJP(K)."
Lebih lanjut, Sunu juga mengungkap, kelebihan alat ini bagi mereka yang aktif.
"Kalau alat pacu zaman dulu enggak bisa mengikuti (denyut jantung naik), soalnya di-set semenit 60 sampai 70 kali per menit. Kalau alat sekarang ada sensornya, kalau kebutuhan naik akan naik,” ucapnya.
Jumlah pengguna alat ini sendiri di Indonesia masih sangat sedikit jika dibanding negara tetangga seperti Singapura. Meski demikian, Indonesia telah memiliki kemampuan sangat baik untuk memasang alat tersebut, dan untuk saat ini rumah sakit Columbia Asia Pulomas merupakan yang pertama memiliki teknologi canggih ini di Indonesia. (rna)