Jamin Ketersediaan Obat Peserta JKN, Pemerintah Perlu Buat Aturan Baru
- pixabay/pexels
VIVA – Isu ketersediaan obat masih menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran bagi pasien yang ingin berobat.
Sebab itu, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) menilai, perlu adanya perbaikan sistem tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) yang dinilai masih rendah. Mereka juga mengatakan bahwa perlu adanya aturan pengalokasian untuk jatah pembayaran obat minimal 25 persen setiap pembayaran dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ke fasilitas kesehatan.
"Sebaiknya memang harus ada update nilai INA-CBGs yang saat ini masih rendah dan aturan alokasi pembayaran jatah obat minimal 25 persen. Saya juga berharap agar co-payment diperbolehkan dan tidak ditegur," ujar Ketua Bidang Industri GP Farmasi, Roy Lembong dalan siaran pers yang diterima VIVA, Jumat, 18 Januari 2019.
Hal ini dinilai Roy sangat penting untuk keberlangsungan JKN. Menurutnya, apapun penyakitnya harus diobati dan pasien harus disediakan obat.
Saat ini, GP Farmasi telah menyuplai 90 persen kebutuhan obat dalam negeri, di mana 52 persen di antaranya adalah obat generik berkualitas.
Ketua Bidang Distribusi GP Farmasi, Hery Sutanto, juga menambahkan bahwa selama ini meskipun sudah keluar pembayaran dari BPJS Kesehatan, hanya sedikit sekali yang sampai kepada penyedia obat.
“Memang uangnya sudah keluar dari pemerintah, tetapi sampai ke kami hanya menetes saja, mungkin hanya enam persen. Padahal sepanjang Agustus-Desember masih terus ada belanja dari rumah sakit, tidak mungkin kita setop obat, karena pasti makin ramai nanti. Kami hanya minta solusi sebaiknya ada alokasi 25 persen,” tuturnya.
Menurutnya, Pedagang Besar Farmasi (PBF) memiliki tantangan yang cukup besar dalam melayani JKN yaitu turunnya keuntungan perusahaan distribusi dari tahun ke tahun.
"Turunnya kenapa? Karena bisnis JKN ini sangat high cost, ini dari segi bisnis. Jadi kalau lebih milih, kami milih bisnis secara reguler dengan swasta. Bayar lebih cepat, tidak butuh waktu. Begitu kami jual ke RS pemerintah, cost kami berlipat-lipat," ungkap Hery.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Engko Sosialine mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah fokus pada tiga hal, yakni rencana kebutuhan obat (RKO), menjamin ketersediaan obat, dan pengadaan obat.
Dia menilai, perlu adanya perbaikan akurasi dari sisi RKO. Menurutnya, RKO yang diserahkan kadang tidak sesuai dan akurat.
"Misalnya pada tahun 2014 kurang 20 persen dan tahun 2018 malah lebih 20 persen. Meningkatnya kan cukup tajam, dan data yang bisa digunakan tentang peningkatan sudah dihubungkan secara elektronik dan akurasinya bagus," kata dia. (art)