Cuka Bisa Jadi Obat Batuk dan Pilek, Mitos atau Fakta?
- Pixabay
VIVA – Cuka sering digunakan sebagai bahan masakan atau penambah rasa pada makanan. Rasanya yang asam membuat beberapa jenis makanan menjadi lebih nikmat ketika disantap. Selain menambah lezat makanan, cuka juga disebut memiliki manfaat kesehatan seperti mengobati infeksi dan meredakan batuk pilek.
Sebelum mengungkap faktanya, Anda perlu memahami bahwa ada dua jenis cuka yang biasa digunakan.
"Cuka ada yang asli dan buatan. Kalau cuka asli, asamnya didapat dari fermentasi buah, sayuran, grain, atau beras. Kalau yang banyak di pasaran biasanya sintetis, kebanyakan bahan yang dipakai adalah bahan kimia sintetis dan kadar asamnya lebih tinggi," jelas dr. Ida Gunawan, MS, SpGK dalam program Ayo Hidup Sehat di tvOne, Kamis 10 Januari 2019.
Lebih lanjut, Ida memaparkan sejumlah mitos dan fakta mengenai cuka yang banyak dipercaya masyarakat.
Cuka dapat dipakai untuk mengobati infeksi luka luar
Mitos. Kebanyakan cuka yang dibeli di pasaran tidak seperti cuka yang dipakai dalam penelitian. Masyarakat harus membedakan cuka asli dan sintetik yang dibuat dari kimia asam asetat dengan konsentrasi tinggi lalu dicairkan dengan air minum. Sedangkan cuka yang dipakai dalam penelitian adalah cuka yang didapat dari berbagai bahan makanan seperti sayur dan buah.
Cuka dapat digunakan sebagai obat batuk dan pilek
Mitos. Penelitian memang banyak dilakukan pada cuka dari bahan alami, namun penelitian ini hanya sebatas pada sel kultur atau tikus. Sementara penelitian pada manusia masih terbatas dan hasilnya masih pro dan kontra.
Cuka berlebih tidak baik untuk kesehatan gigi
Fakta. Cuka yang banyak di pasaran bukanlah cuka asli fermentasi dari buah atau sayur sehingga kadar asamnya sangat tinggi, bisa mencapai hampir 40 persen. Asam yang sangat tinggi ini bersifat melarutkan mineral salah satunya kalsium pada gigi. Itu sebabnya sehabis makan yang asam gigi terasa ngilu.
Cuka apel dapat mengendalikan lemak
Mitos. Faktanya, penelitian baru terbatas pada tikus. Sedangkan penelitian pada manusia belum menunjukkan bukti yang signifikan.(nsa)