Perjuangan RS di Papua untuk Dapat Akreditasi

Masyarakat Papua.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Gusti Tanati

VIVA – Saat sejumlah rumah sakit di Jabodetabek mengeluhkan sulitnya proses akreditasi, sebuah rumah sakit di Kabupaten Lanny Jaya, Papua, justru telah terakreditasi pada 2018 lalu. Padahal, sebagian RS tersebut berada di perkotaan dengan akses yang lebih mudah. 

Cek Sekarang! Iuran BPJS Kesehatan Kelas 1, 2, dan 3 Siap Alami Perubahan

“Kami yang di daerah, sulit saja dengan keterbatasan transportasi, ketersediaan bahan-bahan, kami tetap memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan pelayanan melalui akreditasi," ungkap Direktur RSUD Tiom, dr. Nataniel Imanuel Hadi, dalam siaran persnya yang diterima VIVA, Senin 7 Januari 2019. 

Nataniel melanjutkan, dengan segala infrastruktur dan kemudahan di Jawa, akan lebih mudah bagi RS untuk mendapatkan akreditasi. Bahkan, surveyor Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) mesti dikawal siang malam oleh polisi bersenjata lengkap untuk alasan keamanan. 

10% Saldo BPJS Ketenagakerjaan Bisa Dicairkan Meski Belum Pensiun, Ini Syaratnya!

Di Tanah Papua, perjuangan rumah sakit untuk memperoleh akreditasi harus dibayar mahal. Namun, kondisi tersebut tak menggetarkan langkah Nathaniel untuk membawa rumah sakit yang dipimpinnya meraih akreditasi. Baginya, akreditasi rumah sakit merupakan sebuah jalan untuk meningkatkan mutu layanan di daerah pedalaman.

“Dulu saya sempat bertemu dengan Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Pak Bambang Wibowo. Waktu itu, saya sempat sampaikan, kami tidak yakin bisa maju akreditasi dan lulus. Beliau pun menguatkan, asal ada niat baik saja, pasti bisa. Saya dapat semangat dari situ,” kata dia.

Hari Kesehatan Nasional, Catatan PB IDI: Permasalahan di Indonesia Sangat Kompleks dan Beragam

Dari situ, ia mulai mengirim timnya untuk mendapatkan pelatihan terkait akreditasi. Menurutnya, proses akreditasi memerlukan sinergi yang baik dengan berbagai pihak. Ia mengaku banyak berkonsultasi dengan beberapa rumah sakit yang sudah lebih dulu menyandang akreditasi.

“Secara umum, kesulitan terbesar dalam akreditasi rumah sakit di Papua adalah ketersediaan alat, tetapi itu bukan jadi masalah bagi kami, karena dari sisi peralatan, rumah sakit kami bisa dibilang sudah cukup lengkap. Yang jadi kendala adalah kami belum memiliki pagar rumah sakit," kata dia. 

Meski terlihat sepele, namun itu adalah salah satu syarat akreditasi dan butuh biaya yang besar. Untuk satu sak semen saja harganya bisa mencapai Rp750 ribu. Padahal, dana yang dimiliki terbatas. Itupun sudah digunakan untuk membeli peralatan medis, obat habis pakai, hingga untuk membeli solar guna menyalakan listrik rumah sakit selama 24 jam.

Satu liter solar di Papua, dihargai Rp25 ribu hingga Rp30 ribu, sehingga tak heran jika dalam satu tahun menghabiskan miliaran rupiah hanya untuk memastikan rumah sakit teraliri listrik. Sempat berpasrah diri, Nathaniel pun mengirimkan surat ke komunitas gereja dan komunitas muslim setempat. 

Bukan untuk meminta dukungan finansial, melainkan memohon agar mereka bisa mendoakan dalam setiap kegiatan keagamaan, agar Tuhan memberikan jalan keluar.

Tak disangka, beberapa hari kemudian mereka datang membawa masing-masing warga untuk ikut membangun pagar tradisional untuk rumah sakit. Hampir empat hari jadi semua. 

"Itu benar-benar menjadi momen istimewa tersendiri bagi saya. Dengan semangat kebersamaan, kami mampu melewati tantangan tersebut,” kata Nathaniel.

Ia mengungkapkan, pencapaian akreditasi RSUD Tiom adalah kado tahun baru terindah bagi masyarakat Kabupaten Lanny Jaya. Dengan diperolehnya akreditasi tersebut, ia pun berharap, pelayanan kesehatan di daerah tersebut bisa kian membaik.

“Semoga masing-masing daerah punya hal yang sama. Jangan patah semangat untuk rumah sakit lain yang belum terakreditasi. Kami rumah sakit kecil di terpencil saja, mampu terakreditasi. Mudah-mudahan, kisah ini bisa memotivasi untuk maju akreditasi,” ucap Nathaniel. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya