4 Isu Panas BPJS Kesehatan Sepanjang Tahun 2018

Ilustrasi BPJS Kesehatan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

VIVA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah berlangsung hampir 5 tahun sejak tahun 2014 silam. Di sepanjang tahun 2018, BPJS tak lekang dari berbagai isu kesehatan yang hangat diperbincangkan.

Dimulai dari tiga peraturan baru BPJS Kesehatan yang mendapat pertentangan hingga isu defisit yang dialami di sepanjang tahun 2018. Berikut 4 isu BPJS Kesehatan yang berhasil VIVA rangkum, Rabu 26 Desember 2018.

1. 3 Peraturan baru BPJS Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI mendesak BPJS Kesehatan untuk menunda pelaksanaan tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) yang baru diterbitkan terkait Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Baru Lahir Sehat dan Pelayanan Rehabilitasi Medik.

"Pelayanan Kesehatan wajib memperhatikan mutu dan keselamatan pasien," tegas Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), dikutip dari rilis Kemenkes RI, Senin 30 Juli 2018.

Menkes menerangkan bahwa dalam hal ini, tidak ada diagnosa bayi lahir sehat atau bayi lahir sakit. Menurutnya, bayi yang sehat dalam kandungan belum dapat dipastikan akan persalinan normal.

Bisa saja dalam keadaan selanjutnya, terdapat komplikasi yang sebelumnya tidak diketahui, sehingga memerlukan pemantauan untuk mencegah kematian bayi. Demikian pula untuk keselamatan ibunya.

2. Pembayaran ke Faskes terlambat

Isu simpang siur terkait defisit anggaran keuangan dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kian berhembus. Salah satu dampak dari defisit anggaran tersebut, dirasakan oleh banyak pihak seperti pasien dan tenaga kesehatan.

Diakui oleh Humas BPJS, M Iqbal Anas Ma'ruf, keterlambatan pembayaran memang dialami oleh BPJS sebagai akibat adanya defisit anggaran.

"Kami memang mengalami keterlambatan dalam pembayaran faskes (fasilitas kesehatan)," ujar Iqbal kepada VIVA melalui pesan singkatnya, Senin 17 September 2018.

Keterlambatan pembayaran tersebut terjadi karena beberapa hal. Namun, Iqbal menegaskan penyebab defisit anggaran tersebut bukan karena kesengajaan.

"Tidak ada niat kesengajaan untuk memperlambat pembayaran," kata dia.

Iqbal pun berharap, kehadiran suntikan dana bisa membantu masalah defisit anggaran tersebut.

"Harapan kami setelah ada tambahan suntikan dana jaminan sosial dari apbn bisa mengatasi masalah tersebut," terangnya.

3. Tingginya biaya penyakit katastropik yang ditanggung BPJS Kesehatan

Biaya dialisis atau cuci darah yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan pada 2 tahun terakhir 2016 dan 2017 adalah Rp 3,9 Triliun dan melonjak ke angka Rp 4,6 Triliun. Biaya tersebut menempati posisi kedua tertinggi dari biaya penyakit yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Lebih lanjut, pada tahun 2017 berdasarkan jumlah kunjungan 4.200.678 dan jumlah pasien dialisis berdasarkan nomor kartu kepesertaan yaitu 73.737 pasien, didapatkan rata-rata kunjungan adalah 56 kali per tahun. Angka ini hanya 58 persen dari idealnya jumlah kunjungan 96 kali setahun (dengan asumsi 8 kali kunjungan per bulan). Artinya, fungsi hemodialisa masih belum optimal.

Beberapa hal masih menjadi pemicu kondisi tersebut seperti faktor kepatuhan pasien, faktor pasien meninggal dunia, atau adanya hambatan akses pasien untuk mendapatkan perawatan, seperti proses rujukan berjenjang yang berbelit, atau minimnya jumlah fasilitas hemodialisis.

Kenyataan yang terjadi dengan tingginya defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan harus disoroti dan ditindaklanjuti secara serius. Biaya penyakit katastropik yang cukup tinggi, seperti contohnya dialisis tidak dapat diabaikan.

"Banyak yang perlu dibenahi khususnya kemudahan bagi pasien dialisis mendapatkan layanan yang berkualitas baik melalui hemodialisis maupun CAPD sebagai salah satu alternatif terapi pengganti ginjal yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien Gagal ginjal kronis dan sekaligus menjadi solusi pengendalian biaya kesehatan negara," ujar Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia, dr. Aida Lydia, PhD., Sp. PD-KGH, dalam acara InaHEA, di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu 31 Oktober 2018.

4. Iuran minim dan kepatuhan pembayaran penyebab defisit BPJS

Atlet Peparnas 2024 Dapatkan Perawatan Tanpa Batas Biaya dari BPJS Ketenagakerjaan

Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan sudah sejak lama mengalami defisit. Membengkaknya angka penyakit tidak menular disebut-sebut berkontribusi erat terhadap defisit tersebut.

Namun, faktor iuran yang diberikan oleh masyarakat juga tidak boleh dilupakan. Terlebih, iuran yang dianggap terlalu kecil, dikaitkan dengan adanya ketimpangan biaya pada BPJS Kesehatan.

Resmi Beroperasi, RSUD Tigaraksa Belum Bisa Layani Peserta BPJS

"Sejak awal tahun sudah diperhitungkan bahwa JKN akan ada ketidakcukupan biaya," ujar direktur pelayanan BPJS, Maya A. Rusady dalam acara InaHEA, di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu 31 Oktober 2018.

Menurut Maya, ketimpangan biaya tersebut sudah diatur dalam peraturan presiden bahwa solusinya ada tiga antata lain menaikan iuran, mengurangi manfaat, dan suntikan dana. Saat ini, pemerintah memilih untuk mengatasinya dengan suntikan dana.

Imam Budi Hartono Lanjutkan Layanan Berobat Menggunakan KTP

"Seiring berkembangnya jumlah peserta, apalagi 30 persen biaya JKN diserap dari penyakit katastropik, suntikan dana akhirnya tidak mencukupi," terang dia.

Di kesempatan yang sama, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Asih Eka Putri mengatakan bahwa angka iuran perlu ditelaah kembali. Sebab, angka iuran yang terbilang minim, tak sesuai dengan sebagian masyarakat yang tergolong memiliki pendapatan yang cukup besar.

"Banyak orang-orang yang pendapatannya besar tapi iurannya sama saja walaupun dengan iuran yang paling tinggi. Perlu juga disamakan gaji pokok dan tunjangan tetapnya agar iuran bisa disesuaikan," kata Asih.

Kepatuhan membayar pada masyarakat dalam hal ini juga perlu dipertegas kembali. Tingkat kepatuhan yang seharusnya mencapai 80 persen, saat ini masih di angka yang sangat jauh yaitu 5 persen.

"Artinya dalam 1 tahun, dari 10 orang, hanya 5 orang yang patuh membayar. Padahal seharusnya, dari 10 orang, hanya 1 orang yang tidak patuh membayar."(ben)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya