BPOM RI Ajak WHO Bikin Aplikasi Pelaporan Obat Palsu
- VIVA.co.id/Adinda Permatasari
VIVA – Sebagai salah satu upaya terobosan dalam penguatan pengawasan post-market, BPOM RI bekerja sama dengan WHO mengembangkan Pilot Project untuk Pelaporan Obat Substandar dan Palsu Melalui Aplikasi Smartphone.
Pilot Project ini mengedepankan konsep pembangunan budaya waspada dan partisipasi aktif masyarakat, utamanya tenaga kesehatan dalam melakukan pelaporan terkait indikasi peredaran obat substandar dan palsu menggunakan aplikasi yang mudah diakses.
Dikutip dari siaran pers Badan POM RI Jumat 9 November 2018, Hingga saat ini, kondisi faktual terkait pengawasan di lapangan masih menemukan adanya obat yang tidak memenuhi syarat (TMS), termasuk obat substandar, obat rusak, obat kedaluwarsa, serta obat diduga palsu. Peredaran obat-obat TMS ini sangat membahayakan dan mengancam kesehatan masyarakat.
"Untuk itu, aplikasi ini dikembangkan sebagai upaya meningkatkan peran pelaporan oleh personil kunci di lapangan untuk memaksimalkan pengawasan,” ungkap Plt. Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Aditif, Reri Indriani.
Pelaporan melalui aplikasi smartphone sejauh ini telah dilaksanakan di 6 provinsi di Pulau Jawa, yaitu di Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, dan Jawa Timur. Tercatat sebanyak 129 tenaga kesehatan dari 53 rumah sakit dan 9 puskesmas telah mengikuti pelatihan penggunaan aplikasi.
Pelaksanaan pilot project dilakukan dalam 3 tahap, diawali dengan Tahap Persiapan yang dilaksanakan tahun 2017, dilanjutkan dengan Tahap Implementasi yang dilaksanakan Bulan Januari – Agustus 2018, dan diakhiri dengan Tahap Evaluasi yang dilaksanakan pada Bulan September hingga November 2018.
Sejauh ini, aplikasi dirasa telah user-friendly dan sederhana, namun tentunya masih ada fitur-fitur aplikasi yang perlu disempurnakan untuk memastikan kenyamanan dan efektivitas penggunaan aplikasi oleh para tenaga kesehatan.
“Aplikasi ini akan terus disempurnakan. Diharapkan ke depannya budaya pelaporan terhadap peredaran obat substandar dan palsu dapat terus ditingkatkan, sehingga menjadi sistem deteksi dan respon cepat (rapid and early warning system) untuk terus menjamin keamanan masyarakat," ujar Reri Indriani lagi.(tp)