Defisit BPJS Kesehatan Dampak Dari Iuran Minim?
- ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi
VIVA – Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah sejak lama mengalami defisit. Membengkaknya angka penyakit tidak menular disebut-sebut berkontribusi erat terhadap defisit tersebut.
Namun, faktor iuran yang diberikan oleh masyarakat juga tidak boleh dilupakan. Terlebih, iuran yang dianggap terlalu kecil, dikaitkan dengan adanya ketimpangan biaya pada BPJS Kesehatan.
"Sejak awal tahun sudah diperhitungkan bahwa JKN akan ada ketidakcukupan biaya," ujar direktur pelayanan BPJS, Maya A. Rusady dalam acara InaHEA, di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu 31 Oktober 2018.
Menurut Maya, ketimpangan biaya tersebut sudah diatur dalam peraturan presiden bahwa solusinya ada tiga antara lain menaikkan iuran, mengurangi manfaat, dan suntikan dana. Saat ini, pemerintah memilih untuk mengatasinya dengan suntikan dana.
"Seiring berkembangnya jumlah peserta, apalagi 30 persen biaya JKN diserap dari penyakit katastropik, suntikan dana akhirnya tidak mencukupi," terang dia.
Di kesempatan yang sama, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Asih Eka Putri mengatakan bahwa angka iuran perlu ditelaah kembali. Sebab, angka iuran yang terbilang minim, tak sesuai dengan sebagian masyarakat yang tergolong memiliki pendapatan yang cukup besar.
"Banyak orang-orang yang pendapatannya besar tapi iurannya sama saja walaupun dengan iuran yang paling tinggi. Perlu juga disamakan gaji pokok dan tunjangan tetapnya agar iuran bisa disesuaikan," kata Asih.
Kepatuhan membayar pada masyarakat dalam hal ini juga perlu dipertegas kembali. Tingkat kepatuhan yang seharusnya mencapai 80 persen, saat ini masih di angka yang sangat jauh yaitu 5 persen.
"Artinya dalam 1 tahun, dari 10 orang, hanya 5 orang yang patuh membayar. Padahal seharusnya, dari 10 orang, hanya 1 orang yang tidak patuh membayar." (tp)