EDAT, Sistem Pengendalian Malaria yang Sabet Penghargaan PBB

Menkes Nila Moeloek di Teluk Bintuni, Papua Barat.
Sumber :
  • VIVA/Tasya Paramitha

VIVA – Malaria menjadi salah satu kasus penyakit yang paling tinggi di Provinsi Papua Barat. Namun, kini kasus malaria di salah satu kabupaten, yakni Teluk Bintuni telah berhasil diatasi melalui sistem Early Diagnosis And Treatment (EDAT) atau Diagnosis Dini dan Pemberian Obat Secara Tepat.

SBY Pamit ke Jokowi Mau Tugas sebagai Penasihat Khusus Aliansi Malaria Global di Amerika

Keberhasilan Kabupaten Teluk Bintuni dalam menurunkan kasus malaria ini bahkan telah mendapat sejumlah penghargaan, salah satunya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Maroko pada 24 Juni 2018 lalu, sebagai Juara Pelayanan Publik Wilayah Asia Pasifik Tahun 2018.

Lalu, apa keistimewaan sistem EDAT, dan mengapa ia sangat efektif dalam menurunkan angka Malaria di Teluk Bintuni?

Hibah Alkes untuk Penanganan Malaria di Papua, Ikut Disaksikan Wantimpres

Kepala Dinas Kesehatan Papua Barat, Otto Parorrongan, SKM, M.MKes mengungkapkan bahwa EDAT merupakan sistem kerja sama pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah dan swasta untuk membentuk juru malaria kampung (JMK) atau spesialis malaria di daerah terpencil yang memiliki akses yang sulit terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.

Menariknya, JMK bukanlah tenaga medis, melainkan warga yang dipilih untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat sehingga mampu mengidentifikasi, mencegah dan mengobati malaria.

Nyamuk Anopheles, Penyebar Malaria di Cuaca Panas

Selain JMK, dibentuk pula Juru Malaria Perusahaan (JMP), di mana pemerintah bekerja sama dengan perusahaan British Petroleum (BP), yang menurut Otto punya andil besar dalam keberhasilan program EDAT. BP menempatkan 11 orang untuk membantu pemerintah dalam pengendalian malaria.

Obat untuk penderita malaria.

Selain itu, pelibatan JMK juga menjadi salah satu faktor keberhasilan EDAT. Di Teluk Bintuni, JMK dilatih untuk melakukan pemeriksaan darah, memberikan pengobatan. Tentu dengan pengawasan ketat dari petugas kesehatan.

Untuk memudahkan para JMK, digunakan pula metode timbangan berat badan yang telah diberi warna sebagai petunjuk. Mereka yang sudah terkena malaria berobat sampai tuntas dan diberi obat sesuai dengan berat badan mereka.

"Jadi obatnya dikemas ulang, dengan sistem warna untuk memudahkan pemberian dan penggunaan obat malaria. Warna obat yang diberikan disesuaikan dengan warna pada timbangan. Jadi sesuai dengan berat badan pasien," kata Otto saat ditemui VIVA baru-baru ini di Manokwari, Papua Barat.

Dinkes Papua Barat juga melakukan pelatihan kepada semua dokter, perawat, bidan dan analis laboratorium yang baru direkrut sebelum ditempatkan di tempat tugasnya.

Timbangan berat badan untuk penderita malaria.

Hasilnya, kasus malaria per 1.000 penduduk (Annual Parasit Incidence/API) di Teluk Bintuni mengalami penurunan yang sangat tajam, dari 114,9 di tahun 2009, kini telah turun hingga 0,8 pada Juni 2018.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Menteri Kesehatan RI, Nila F. Moeloek dalam kunjungannya ke Teluk Bintuni, Rabu, 29 Agustus 2018 juga turut mengapresiasi prestasi yang dicapai Teluk Bintuni dalam bidang kesehatan.

Menurutnya, EDAT mampu mengubah perilaku masyarakat untuk lebih sadar terhadap pentingnya mencegah dan mengobati malaria, penyakit yang dulu paling banyak diderita masyarakat Teluk Bintuni.

“Masyarakat jadi tahu kalau badannya enggak enak, demam, malarianya kambuh. Mereka akan datang. Jadi ini yang namanya perubahan perilaku. Pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi kesehatannya sendiri,” ucap Nila.

“Ini yang dinamakan revolusi mental. Enggak ada kan, yang mau sakit? Jadi kita semua ingin sehat,” katanya menambahkan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya