Fakta Dibalik Kontroversi Halal Haram Vaksin MR

Ilustrasi pemberian vaksin.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Maulana Surya

VIVA – Vaksin measles dan rubella yang diimpor dari Serum Institute of India menuai kontroversi karena dalam proses pembuatannya bersentuhan dengan babi. Majelis Ulama Indonesia sendiri menyatakan bahwa vaksin MR haram, tapi boleh digunakan dalam keadaan terpaksa. 

Vaksin HFMD Sudah Ada, Berapa Efikasinya untuk Cegah HFMD atau Flu Singapura?

Terkait hal tersebut, Dokter Kristoforus Hendra Djaya SpPD, ahli vaksin dan penyakit dalam sekaligus CEO In Harmony Vaccination memberi penjelasan mengenai fakta-fakta vaksin MR yang menjadi kontroversi. 

Ia menjelaskan, dalam sejarah pembuatan vaksin, kontak dengan binatang memang telah digunakan dalam produksi vaksin manusia sejak masa-masa awal pembuatan vaksin.

Vaksin HFMD atau Flu Singapura Kini Hadir di Indonesia

"Separuh awal dari abad 20, sebagian besar vaksin diproduksi menggunakan media binatang, entah dengan menumbuhkan bakteri atau virus di tubuh binatang hidup atau menggunakan sel-sel binatang," kata Kristoforus dalam keterangan tertulisnya, Minggu 26 Agustus 2018. 

Dalam pembuatannya, lanjut dia, beberapa vaksin yang dihasilkan tidaklah stabil, sehingga tidak dapat disimpan untuk digunakan dalam jangka panjang. Hal ini berarti vaksin tersebut tidak praktis untuk di distribusikan ke seluruh dunia. Oleh karena itu diperlukan suatu zat untuk menstabilkan formulasi vaksin tersebut.

IPMG Tegaskan Komitmen Kolaborasi Proses Pendaftaran Obat-obatan Inovatif dan Obat Penyakit Langka

Sementara, untuk menstabilkan berbagai obat-obatan, bukan hanya vaksin, namun juga berbagai jenis kapsul, digunakanlah gelatin yang merupakan zat stabilizer. Gelatin tersebut, kata dia biasanya berasal dari kolagen binatang seperti ayam, sapi, babi, atau ikan. Kolagen ditemukan dalam tendon, ligamen, tulang, dan kartilago. Gelatin babi dibuat dari kolagen yang terdapat dalam babi.

"Gelatin yang digunakan dalam vaksin telah melalui banyak proses pemurnian dan penghancuran hingga menjadi molekul-molekul yang sangat kecil dan dikenal dengan nama peptide," tutur dia. 

Sementara, untuk meneliti stabilizer dan menciptakan vaksin membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun melalui berbagai uji laboratoris dan studi klinis untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.

"Jika ingin mengganti salah satu komponen dalam vaksin tersebut, berarti harus meneliti kembali segalanya dari awal lagi, membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk mengujinya kembali dan memastikan keamanan dan efektivitasnya tidak terpengaruh oleh perubahannya, itu pun dengan risiko bahwa hasil yang didapatkan belum tentu sebanding atau bahkan gagal," katanya,

Inilah sebabnya, mengapa penggantian stabilizer seperti yang diharapkan banyak orang, belum tentu bisa dilakukan. 

Jauh sebelum ramai kontroversi tentang vaksin MR, WHO juga telah mengeluarkan selebaran: “WHO Letter Reports On Islamic Legal Scholars' Verdict on the Medicinal Use Of Gelatin Derived From Pork Products”, pada Juli 2001 oleh Regional Office WHO for the Eastern Mediterranean. 

Dalam melaporkan hasil penelitian, penemuan, dan pembahasan dari lebih dari 112 pakar legal Islami yang berkumpul untuk mengklarifikasi hukum halal-haram yang dimiliki umat muslim.

“Transformasi, yang berarti perubahan suatu zat menjadi zat lain, yang pada hakikatnya berbeda, berbeda karakteristik, dapat mengubah zat yang secara hukum muslim tidak bersih/haram, menjadi zat yang bersih/halal, serta mengubah pula zat yang sedianya dilarang menjadi diperbolehkan untuk dikonsumsi,” kesimpulan pernyataan para ahli.

Dari pertemuan dan surat tersebut, dinyatakan oleh para pakar muslim bahwa transformasi produk babi menjadi gelatin telah cukup mengubah zat tersebut, hingga dapat dibenarkan bagi umat Muslim di seluruh dunia untuk mendapatkan vaksin yang mengandung gelatin maupun obat-obatan yang dibungkus oleh kapsul gelatin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya