Kenali Perbedaan Baby Blues dan Depresi Usai Melahirkan
- Pexels
VIVA – Pasca melahirkan, tak sedikit para wanita yang kesulitan beradaptasi dengan momen baru menjadi seorang ibu. Kondisi stres hingga depresi biasanya menjadi masalah utama pada ibu yang baru melahirkan.
Stres usai melahirkan bisa dipicu banyak sebab seperti sulit menyusui hingga belum menerima keadaan barunya. Ini bisa membuat kondisi seperti baby blues hingga depresi pasca melahirkan mengintai.
"Stres menyusui bisa menyebabkan baby blues. Tahapannya bisa stres biasa, baby blues, hingga depresi pasca melahirkan atau post partum depression," ujar Psikolog Luh Surini Yulia Savitri, M.Psi., ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.
Berikut perbedaan baby blues syndrome dan post partum depression seperti dipaparkan oleh Psikolog Luh Surini Yulia Savitri, M.Psi.
1. Baby blues syndrome
70 persen para ibu yang melahirkan, mengalami baby blues. Gejala yang nampak seperti sedih tanpa sebab, sulit tidur, malas makan, hingga mudah menangis.
Hal tersebut bisa disebabkan karena beberapa hal seperti rasa lelah berlebih, stressor dari luar, dan disertai hormonal. Sebab, saat baru melahirkan, hormon ibu akan sangat bergejolak.
"Stres ini biasa terjadi 2 minggu pertama dan ini normal. Perlahan-lahan rasa ini berkurang dan berganti rasa bahagia."
2. Post partum depression
Apabila stres berlangsung lebih dari dua minggu, dinamakan sebagai depresi pasca melahirkan. Gejala yang timbul mencakup sedih yang makin intens, minim tidur, semakin mudah tersinggung karena lelah.
Berbahaya lagi jika ibu mulai menarik diri secara sosial, mengalami kesulitan tidur, hingga masalah konsentrasi. Bahkan, ia tak merasakan keterikatan pada buah hatinya.
"Pada umumnya lihat bayi akan muncul rasa senang, tapi ini malah kesal karena bayinya dirasa membuat dia sulit tidur, membentuk tubuhnya berubah, dan sebagainya," ungkap dia.
Perasaan depresi ini disertai perasaan tidak berguna pada bayi, karena tidak mampu memberi ASI yang mencukupi. Perlu diwaspadai jika ibu nampak mulai menyakiti diri, ingin bunuh diri, hingga ingin membunuh bayinya.
"Selain karena hormonal, semua bisa berkecamuk di pola pikir. Padahal ini bisa dikendalikan atau diminimalisir keparahan depresinya," jelasnya.