MUI Sebut Vaksin MR Dibolehkan Bila Tak Ada Lagi Alternatif Lain

Pemberian Vaksin Campak Rubella
Sumber :
  • ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

VIVA – Kementerian Kesehatan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan pertemuan berkaitan dengan sertifikasi halal yang belum dimiliki vaksin Measles Rubella (MR). Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, menyatakan aspek kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan aspek keagamaan, begitupun sebaliknya.

Bio Farma Raih Kontrak Ekspor Vaksin Rp 1,4 Triliun, Erick Thohir Dorong Produksi

Menurut Ni'am, pertemuan yang diinisiasi oleh kedua belak pihak, baik Kemenkes maupun MUI, bertujuan untuk menjamin hak kesehatan sekaligus keagamaan masyarakat. Perspektif keagamaan memberikan dukungan yang luar biasa terhadap pelaksanaan kegiatan imunisasi sebagai mekanisme pencegahan (wabah) penyakit berbahaya.

"Karenanya pada awal tahun 2016, MUI secara khusus melakukan pembahasan dan penetapan fatwa Nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi. Salah satu isinya adalah imunisasi merupakan salah satu mekanisme pengobatan yang bersifat preventif, untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat itu dibolehkan dengan vaksin yang halal atau suci," ujar Ni’am dikutip dari siaran pers Kemenkes RI, Jakarta.

Vaksin HFMD Sudah Ada, Berapa Efikasinya untuk Cegah HFMD atau Flu Singapura?

Menurut Ni’am, vaksinasi sebagai sebuah mekanisme pencegahan itu secara syar’i dibenarkan. Namun vaksin sebagai produk yang akan digunakan perlu dinilai dan ditetapkan pula hukumnya.

"Ada kesepahaman dan komitmen untuk mempercepat proses sertifikasi kehalalan vaksin MR. Langkah percepatannya, Ibu Menkes atas nama negara meminta PT Biofarma dan meminta kepada SII secara langsung terkait komposisi atau ingredient yang menjadi pembentuk vaksin MR," tutur Ni’am.

Vaksin HFMD atau Flu Singapura Kini Hadir di Indonesia

Komisi Fatwa MUI akan mempertimbangkan untuk percepatan proses penetapan fatwa (bagi vaksin MR) setelah ada proses audit oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sesuai dengan prinsip-prinsip prudensialitas yang dimiliki oleh sistem di LPPOM dan Komisi Fatwa MUI.

"Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bisa dikeluarkan sertifikat halal bila terbukti clear dari sisi bahan, tidak ada anasir yang terbukti haram atau najis. Kemungkinan yang kedua, bila ditemukan ada unsur pembentuknya dari najis atau haram, dengan penjelasan bahwa bila tidak diimunisasi akan mengakibatkan mudharat kolektif di masyarakat, maka terhadap yang haram tadi bisa dibolehkan untuk digunakan, dengan catatan tidak ada alternatif lain yang suci atau halal atau bahayanya sudah sangat mendesak. Itu poin pentingnya," jelas Ni’am.

Selain itu, MUI meminta Kemenkes untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin menunggu fatwa MUI untuk vaksin MR dan memilih menunda pemberian imunisasi MR bagi anaknya setelah keluarnya fatwa tersebut.

"Hal ini sangat terkait dengan ketersediaan informasi yang dibutuhkan, terutama ingredient atau komposisi pembentuk (bahan) vaksin tersebut. Kalau itu tersedia, beberapa hari (fatwa) bisa selesai," imbuh Ni’am.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, menegaskan bahwa Kemenkes tetap melaksanakan kampanye imunisasi MR di daerah dalam kerangka pencegahan penyakit. Kemenkes memberikan kesempatan bagi masyarakat yang memilih untuk menunggu terbitnya fatwa MUI, pemberian vaaksinasi MR akan dilaksanakan pada kesempatan selanjutnya.

Hal ini dimungkinkan mengingat periode pelaksanaan kampanye imunisasi MR di 28 Provinsi di luar pulau Jawa selama dua bulan (Agustus-September). "Waktu kita kan cukup panjang dari Agustus sampai September. Kementerian Kesehatan akan tetap memberikan pelayanan, sambil kita percepat prosesnya," tandas Anung.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya