Ini Asal Muasal Kenapa Mecin Dikenal Sebagai Bumbu yang Bikin Bodoh
- Pixabay/Stocksnap
VIVA – Siapa yang tak kenal dengan Monosodium Glutamat (MSG). Penyedap rasa masakan yang dikenal dengan sebutan vetsin (mecin) ini keberadaannya sangat kontroversial. Masyarakat percaya bahwa konsumsi mecin dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan hingga merusak saraf pada otak anak.
Belakangan, mecin bahkan dijadikan semacam 'guyonan' di kalangan anak muda dan pengguna media sosial. Bertebaran meme yang bertuliskan 'kebanyakan makan mecin, jadinya bego'. Ya, mecin memang kerap dituduh sebagai komponen masak yang mampu merusak otak, padahal faktanya tidak demikian.
Ketua Terpilih PB IDI periode 2018-2021, Dr. Daeng M. Faqih, SH,MH dalam bukunya yang berjudul 'Review: Monosodium Glutamat, How To Understand It Properly' menjelaskan sangat lengkap mengenai asal usul MSG, dampaknya bagi kesehatan, juga pendapat-pendapat ilmiah para ahli. Menurutnya, MSG tidak memiliki dampak negatif seperti yang diisukan, isu seputar MSG ini penting untuk diluruskan.
"Dalam berbagai isu keamanan pangan, MSG adalah salah satu Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang menjadi topik hangat dan menarik dalam pemberitaan media massa. Hanya saja informasi yang ada tidak berimbang dan bersifat negatif serta tidak diikuti oleh sebuah argumentasi ilmiah yang memadai. Sehingga pada akhirnya masyarakat banyak menyimpulkan secara gegabah tentang MSG," tulisnya dalam buku tersebut.
Lebih lanjut ia menyebutkan dalam bukunya mengenai sejarah panjang isu kesehatan seputar MSG.
"Sepanjang 40 tahun terakhir berbagai pro-kontra muncul untuk menentang penggunaan MSG dalam makanan. Terutama di negara Barat. Hal ini disebabkan adanya laporan dari orang-orang yang mengalami suatu reaksi setelah mengonsumsi makanan yang mengandung MSG, walaupun laporan tersebut tidak secara jelas menyebutkan penyebabnya adalah MSG," ujarnya.
Sementara itu, kontroversi penggunaan MSG yang terjadi di Indonesia akibat pengetahuan konsumen secara tepat tentang MSG masih rendah.
Awalnya gara-gara rumah makan cina
Reaksi negatif terhadap penggunaan MSG pada masakan telah dibahas di dalam literatur ilmiah sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu. Diawali dari sebuah laporan kasus yang dituliskan dalam New England Journal Of Medicine 1968 sebagai pengalaman pribadi Dr. Robert Ho Man Kwok (Amerika), setelah mengonsumsi makanan di rumah makan Cina.
Ia menamakannya sebagai Chinese Restaurant Syndrome (CRS) yang merupakan kumpulan gejala berupa rasa kebas di belakang leher, tubuh menjadi lemas serta palpitasi (jantung berdebar-debar). Sejak itu berbagai penelitian dilakukan untuk menilai keamanan penggunaan MSG terhadap kesehatan. Padahal di dalam suratnya tidak menyebutkan bukti bahwa gejala yang dialaminya tersebut merupakan akibat dari penggunaan MSG.
Sejak kejadian tersebut maka dilaporkan kurang lebih 7 persen populasi orang Amerika mengalami CRS. Namun angka ini dianggap berlebihan sebab tidak didasarkan pada desain studi yang benar.
Setelah itu beberapa penelitian mulai bermunculan untuk memastikan hubungan antara CRS dan MSG namun hasil penelitiannya justru berlawanan.
Walaupun berbagai penelitian telah banyak yang membuktikan keamanan MSG, namun kontroversi terhadap penelitian tersebut juga selalu ada.
Salah seorang yang paling menentang bukti keamanan MSG adalah Dr. Adrienne Samuel bersama suaminya, yang menyatakan bahwa penelitian tersebut memiliki keterkaitan atau dibiayai oleh industri MSG. Tuduhan Dr. Samuel ditolak oleh Dr. Roland Auer, seorang peneliti independen yang menjabat sebagai Biology’s Expert Panel pada Federation of American Societies.
Beliau menyatakan bahwa Dr. Samuel telah membuat pernyataan yang tidak benar sebab beliau dan institusinya tidak pernah menerima maupun berpihak pada industri makanan.
MSG dituduh merusak saraf dan bikin bodoh
Tak henti sampai di situ, kontroversi MSG terus berlanjut. Salah seorang yang memberikan pengaruh terhadap isu keterkaitan antara MSG dengan kelainan saraf adalah John Olney, psikiatris dari Universitas Washington.
Dr. Olney memberikan banyak kritik terhadap berbagai bahan tambahan makanan, namun fokus utamanya adalah aspartam dan MSG. Ia telah mengadakan banyak penelitian pada hewan pengerat dengan cara menyuntikkan atau memasukkan MSG secara paksa untuk membuktikan apakah MSG dapat menyebabkan neurotoksisitas
pada hewan coba ini.
Di dalam salah satu penelitiannya, Olney menggunakan bayi tikus yang baru lahir dan memberikan MSG secara oral dengan dosis sebesar 3gr/kg berat badan hewan percobaan.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa MSG menimbulkan kerusakan otak. Olney juga melaporkan bahwa MSG merupakan pemicu untuk terjadinya obesitas, gangguan neuroendokrin, gangguan perilaku dan kerusakan otak pada janin tikus dari induk yang mengonsumsi MSG saat hamil.
Namun lagi-lagi penelitian itu harus melewati tahapan lebih lanjut karena belum sampai tahap uji klinis pada manusia.