Malangnya Nasib Orang-orang Cerdas di Negeri Ini
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA – Sungguh malang nasib orang-orang cerdas yang punya ide cemerlang di Indonesia. Bukan cuma tak diakui, bisa dibilang kecerdasan dan penemuan mereka disia-siakan oleh pemerintah. Tengok saja pemecatan sementara DR. Dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selama 12 bulan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar (PB) IDI.
Dokter militer tersebut dianggap telah melanggar kode etik di bidang kedokteran, terkait terobosannya yakni metode ‘cuci otak’ untuk pasien stroke. Tak hanya itu, IDI juga mencabut rekomendasi izin praktiknya.
Majelis Etik IDI Pecat Penemu Cuci Otak Dokter Terawan
Rekomendasi Izin Praktik Dokter Terawan Juga Dicabut
Metode Dr Terawan yang Dipecat MKEK IDI Diakui Internasional
Hal serupa juga pernah dialami oleh Warsito Purwo Taruna, penemu alat pendeteksi kanker bernama Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT), dan alat terapi penderita kanker bernama Electro Capacitive Cancer Treatment (ECCT), yang prototipenya diincar Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dan banyak pihak.
Nasib doktor lulusan Teknik Elektro Shizuoka University, Jepang itu tak berbeda jauh dengan DR. Terawan. Tahun 2015 lalu, Kementerian Kesehatan RI meminta Wali Kota Tangerang, Arief R. Wismansyah untuk menertibkan klinik riset kanker yang dioperasikan PT Edwar Technology, dengan alamat di Jalan Jalur Sutra, Kavling Spectra 23 BC, nomor 10-12, Alam Sutera, Tangerang.
Sebagai informasi, klinik tersebut memang mengembangkan temuan Warsito, yakni ECVT untuk mendiagnosis kanker dan ECCT untuk terapi kanker. Dalam surat yang ditujukan kepada Wali Kota Tangerang dari Kementerian Kesehatan, dikatakan bahwa klinik tersebut harus ditertibkan lantaran PT Edwar Technology dinilai telah melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tahapan proses penelitian yang sudah ditetapkan badan penelitian dan pengembangan Kemenkes.
Berawal dari Kondisi Sang Kakak
Upaya menciptakan alat pendeteksi dan terapi kanker Warsito berawal dari rasa prihatin melihat kondisi kakaknya, Suwarni, yang divonis kanker payudara pada 2010. Saat itu, ia tengah belajar fungsi gelombang listrik untuk diagnosis dan terapi.
Ia tahu, sebuah sel punya gelombang listrik tertentu yang bisa berinteraksi dengan gelombang listrik yang dipaparkan padanya. Ia juga sudah membuktikan, medan listrik bisa menghambat sel kanker.
Gelombang listrik berdaya tinggi akan menimbulkan reaksi tertentu pada sel kanker. Itu sudah menjadi terapi di luar negeri. Tapi, daya listriknya mencapai 70 volt. Ia lalu memutar otak.
“Berarti gelombang listrik berdaya rendah juga bisa menghasilkan efek jika dipaparkan secara terus-menerus pada sel-sel kanker yang sedang membelah diri,” pikir Warsito, kala itu.
Ia sebenarnya sudah mencoba pemikirannya itu. Gelombang listrik dipaparkan pada sel kanker in vitro, sel kanker yang ditumbuhkan di laboratorium.
Hasilnya, perkembangan sel kanker tertahan. Rupanya, gelombang listrik mengacaukan pembelahan sel kanker. Mereka bisa kacau, bahkan hancur.
Warsito lalu nekat menguji coba alatnya pada Suwarni. Dalam kondisi mendesak, ia tak tega melihat kakaknya menderita. “Paling juga enggak ngaruh. Syukur-syukur kalau ngaruh,” ujarnya.
Gelombang listrik disetelnya sangat rendah, sekitar tiga volt. Warsito pun terkejut. Hasilnya di luar dugaan. Suwarni membaik setelah alat serupa rompi bergelombang listrik itu dipakai selama sebulan penuh.
Suwarni lalu memeriksakan sel-sel kankernya ke dokter, dan hasilnya normal. Padahal, ia didiagnosis menderita kanker payudara stadium 4.
Awalnya Warsito tak percaya. Lantas, ia meminta Suwarni kembali memakai rompi ciptaannya. Pemindaian sel kanker kali kedua, dilakukan sebulan kemudian. Sel-sel kanker Suwarni menghilang.
“Saya antara percaya dan tidak percaya,” kata Warsito tercengang. Kini, rompi buatan sang adik hanya sesekali dipakai Suwarni sebagai tindakan preventif.
Temuan Warsito itu lalu makin berkembang. Dari mulut ke mulut, rompi buatan pria asal Karanganyar, Solo itu mulai tenar. Hingga pertengahan 2011, sudah ada empat orang yang memakainya.
Masing-masing mengeluhkan sakit kanker rahim, kanker serviks, kanker payudara, dan kanker paru-paru. Dengan pemakaian alat secara teratur, benjolan mereka mengempis.
Sakit pun diklaim hilang. Alat terapi Warsito juga dipakai di sejumlah negara seperti Taiwan, China, Malaysia, India, dan Singapura.
Sayangnya keberhasilan alat ciptaan Warsito tidak mendapat dukungan dari Pemerintah. Klinik riset kanker miliknya yang beroperasi di bawah nama PT Edwar Technology, terpaksa ditutup.