Mengapa Banyak Korban Diam saat Mengalami Pelecehan Seksual?
- Pixabay
VIVA – Dalam banyak kasus pelecehan seksual atau perkosaan, seringkali korban tidak langsung merespons atau melawan pelecehan yang terjadi padanya. Mayoritas korban hanya bisa diam, dan tidak berani melawan.
Sayangnya, respons yang demikian kemudian banyak disalahartikan bahwa korban menikmati pelecehan seksual yang terjadi padanya. Padahal jika mendengarkan dari sisi korban, tentu tidak sesederhana itu.
Dan sebuah studi baru dari Institut Karolinksa dan Rumah Sakit Umum Swedia d telah mengonfirmasi hal ini. Menurut studi tersebut, mayoritas korban pemerkosaan mendapati dirinya tidak sadar untuk bergerak, yang membuatnya 'memblokir' perlawanan fisik.
Ini disebut imobilitas tonik, digambarkan sebagai penghambatan motorik sementara yang terjadi secara tidak disengaja dalam menanggapi situasi yang melibatkan ketakutan yang kuat, dan bisa mengubah situasi ketika menyangkut bagaimana korban pemerkosaan dirawat di rumah sakit dan pengadilan.
"Pengadilan mungkin cenderung menolak anggapan pemerkosaan (jika) korban tidak tampak menolak," kata penulis utama studi Dr. Anna Möller, seperti dikutip dari The Independent, Selasa ,30 Januari 2018.
Sebaliknya, apa yang bisa ditafsirkan sebagai perilaku pasif sangat mungkin terjadi pada korban, mewakili reaksi biologis normal dari ancaman yang luar biasa. Anna percaya, imobilitas tonik terjadi pada semua korban kekerasan seksual.
Terlebih lagi, para periset menemukan bahwa imobilitas tonik lebih cenderung menyebabkan korban mengembangkan gangguan stres pasca trauma (PTSD) atau depresi berat sesudahnya.
Dr Möller dan timnya mempelajari 298 wanita yang telah mengunjungi Klinik Darurat untuk Korban Perkosaan di Stockholm dalam waktu satu bulan setelah mendapatkan penyerangan seksual.
70 persen partisipan melaporkan imobilitas tonik yang signifikan selama serangan tersebut, dan 48 persen melaporkan imobilitas tonik yang ekstrem.
Enam bulan setelah kejadian tersebut, 189 wanita tersebut dinilai mengalami pengembangan PTSD dan depresi. Dari wanita-wanita ini, 38,1 persen telah mengembangkan PTSD dan 22,2 persen telah mengalami depresi berat.
Para peneliti menyimpulkan bahwa imobilitas tonik menghasilkan peningkatan risiko terkena PTSD sebesar 2,75 kali dan peningkatan risiko depresi berat sebesar 3,42 kali.
Namun, mereka menemukan bahwa imobilitas tonik juga terkait dengan trauma sebelumnya dan perawatan psikiatri sebelumnya.
"Studi ini menunjukkan bahwa imobilitas tonik lebih umum daripada yang dijelaskan sebelumnya," kata Dr. Möller.
"Informasi ini berguna baik dalam situasi hukum maupun dalam psikososial korban perkosaan. Selanjutnya, pengetahuan ini bisa diterapkan dalam pendidikan mahasiswa kedokteran dan mahasiswa hukum,” katanya lagi.