Bukan Satu, Pitung adalah Tujuh Pendekar Betawi?
- VIVA.co.id/ Zahrul Darmawan
VIVA – Si Pitung lagi-lagi menjadi perbincangan yang tak habis dimakan zaman. Kali ini, sejarah Si Pitung kembali diperdebatkan oleh sejumlah tokoh masyarakat Betawi.
Berdasarkan temuan penulis buku Pituan Pitulung, Iwan Mahmoed Al Fattah, Si Pitung terdiri dari tujuh orang, bukan satu orang seperti yang banyak diyakini banyak orang. Ini disebutkan dalam Kitab Al Fatawi yang menjadi salah satu rujukannya dalam menulis buku tersebut.
"Dalam kitab tersebut disebutkan nama anggotanya (Pitung), kemudian ada keterangan keturunan penulis kitab Al Fattawi, Si Pitung tidak hanya satu," kata Iwan saat ditemui dalam diskusi Orang Betawi & Cerita Si Pitung di Tanah Abang, Jakarta, belum lama ini.
Sebagai informasi, kitab Al Fatawi ditulis oleh seseorang bernama Datuk Meong Muntu. Kitab ini kemudian disusun kembali oleh KH Ahmad Syar'i Mertakusuma pada 1910. Ahmad Syar'i merupakan tokoh sejarah yang hidup pada masa keberadaan Pitung.
Pitung, kata Iwan, adalah akronim dari Pituan Pitulung. Pituan artinya pendekar, sedangkan pitulung artinya penolong. Pitung merupakan kelompok orang yang berjuang melawan ketidakadilan yang terjadi di tanah Betawi.
Lantas mengapa banyak yang meyakini bahwa Si Pitung hanya ada satu? Iwan berpendapat, lagi-lagi berdasarkan kitab Al Fatawi bahwa dalam Pitung terdapat satu orang pendekar yang menonjol. Ia diketahui bernama Radin Muhammad Ali Nitikusuma.
"Di dalam kelompok itu memang ada yang paling menonjol, sehingga orang memahami bahwa Pitung hanya satu, Radin Muhammad Ali Nitikusuma," ujar Iwan.
Namun, sejumlah orang Betawi membantah teori ini, termasuk mereka yang mengaku keturunan Ki Pitung dari Rawa Belong. Ketua Dewan Pembina Redaksi Betawi Indonesia, Nurjanah mengatakan bahwa temuan Iwan belum miliki dasar yang kuat. Penulisan buku ini tidak melibatkan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Si Pitung versi masyarakat.
"Kerabat Pitung tidak dilibatkan dalam pembuatan buku ini," kata Nurjanah.
Tak jauh berbeda dengan Nurjanah, Komunitas Baca Betawi, Asep Setiawan meragukan kebenaran kitab yang digunakan Iwan. Ia khawatir kitab tersebut sama seperti naskah Wangsakerta dan Babad Indramayu, yang ditengarai sebagai dasar sejarah palsu.
"Saya khawatir nasib kitab ini sama seperti keduanya," kata Asep.
Sumber Betawi
Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Munawar Holil, di satu sisi, mengapresiasi penulisan buku ini karena ditulis berdasarkan sumber masyarakat Betawi, bukan menggunakan sudut pandang asing. Selama 15 tahun belakangan, kata Munawar, para peneliti Indonesia kerap menjadikan sudut pandang asing sebagai bahan acuan.
"Saya mengapresiasi apa yang ditulis Bang Iwan, kita mulai melihat Si Pitung dari sudut pandang masyarakat Betawi, bukan dari orang lain," ujarnya.
Tapi di sisi lain, Munawar menganggap, penelitian lebih lanjut mengenai kitab Al Fatawi masih dibutuhkan baik secara filologi, paleografi hingga kodikologi. Menurutnya, penting untuk mencari sumber lain dan kritis terhadap sumber dalam menulis sejarah Betawi.
"Tidak bisa hanya mengandalkan satu sumber," kata dia. (ren)