Jemi Ngadiono, Sebar Virus Traveling and Teaching
- VIVA.co.id/ Bimo Aria
VIVA.co.id – Bukan hal yang mudah mencari sukarelawan untuk menjadi guru di pedalaman. Hal ini yang dirasakan Jemi Ngadiono.
Nama Jemi Ngadiono, belakangan mungkin memang dikenal atas penghargaan yang berhasil diraihnya dalam Indonesia's Game Changers. Lewat komunitas 1000 Guru yang didirikannya, ia berhasil mendapatkan penghargaan dalam bidang pendidikan.
Nama Jemi disandingkan dengan Gubernur DKI Jakarta 2017 terpilih, Anies Baswedan dalam kategori yang sama. Tapi, siapa sangka bahwa pria kelahiran Tulang Bawang, Lampung, 11 Mei 1984 ini sebelumnya juga sempat putus sekolah.
Bahkan, ia sempat dititipkan ke panti asuhan karena keluarganya mengalami kesulitan ekonomi. Lewat usahanya, ia berhasil lulus dari salah satu universitas swasta dan bekerja menjadi seorang videografer pada sebuah media televisi.
Tugasnya kala itu mengabadikan kehidupan di pedalaman Indonesia, hingga akhirnya melihat masih banyak anak Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan dengan baik. Karena itulah, dia mencari cara, bagaimana pendidikan bisa merasa hingga ke pelosok.
"Waktu saya kerja (penghasilannya) sudah lumayan, kayanya saya perlu bantu mereka. Akhirnya bikin akun Twitter, buat menyebarluaskan ide saya sampai akhirnya dapat banyak follower," ungkap Jemi kepada VIVA.co.id, di pedalaman Sumba saat program KFC Berbagi Inspirasi bersama 1000 guru.
Pada tahun 2012, lewat Komunitas 1000 guru dengan konsep traveling and teaching-nya, Jemi ingin mengajak anak muda untuk tidak hanya sekadar berwisata ke daerah-daerah. Dia juga ingin anak muda peduli dengan pendidikan anak-anak di tempat tersebut.
"Jadi bagaimana anak muda biar mereka bisa ikutan dan enggak bete, jadi kita selingi, jadi tidak hanya ngajar saja tapi juga traveling," kata dia.
Namun, itu bukanlah hal yang mudah. Pada awal projeknya ke sebuah daerah di Rangkas Bitung, hanya ada dua orang yang mau ikut dengannya. Tapi Jemi tak patah semangat, dengan menyisihkan gajinya, ia kembali keluar masuk ke pedalaman dan terus menularkan 'virus' traveling and teachingnya kepada anak muda.
"Sekarang itu di regional ada 1000-an orang yang ikut, sudah ada sekitar 4000-an sekolah yang diajar, dengan jumlah siswa 30 ribuan lebih," kata dia.
Smart Center Project
Tidak hanya sekadar mengajar, Jemi juga ingin, yang dilakukannya juga berkelanjutan. Sebab itu dia kemudian membangun Smart Center Project yang juga peduli akan kesehatan dan gizi dari anak-anak.
"Sejak menjalankan Smart Center Project, kami menerima laporan dari sekolah bahwa pemberian makanan bergizi membantu anak-anak lebih berkonsentrasi," kata Jemi.
Setelah sebelumnya 1000 guru dengan dukungan sekolah di wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur, kali ini kolaborasi keduanya membuka 35 Smart Center Project di Wilayah Nusa Tenggara Timur. Salah satunya juga dengan membangun satu ruang kelas di SDN Mata Wa Matee, di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
"Jadi lewat Smart Center Project ini harapannya makin bannyak anak di pedalaman yang terlengkapi gizinya dan semakin rajin ke sekolah, kemampuannya pun meningkat," kata Jemi.