Ketika Kebaikan Tak Bisa Dimonopoli, Cerita Muslim Minoritas

Nurjanni, peserta Program Pertukaran Muslim Exchange Program (MEP) tahun 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bimo Aria

VIVA.co.id – Bagi seorang Muslim, tinggal di negeri multikultur bisa menjadi sebuah pengalaman berharga yang mengajarkan kita tentang tenggang rasa dan menghormati, serta menghargai orang lain.

Kisah Muiz Bocah 12 Tahun yang Rawat 7 Adiknya, Rela Jualan Demi Penuhi Kebutuhan Sehari-hari

Hal itu yang dirasakan oleh Nurjanni Astianti, wanita asal Indonesia yang pernah mencicipi hidup di Negeri Kangguru.

Wanita berusia 34 tahun tersebut, merupakan salah satu peserta Pertukaran Muslim Exchange Program (MEP) tahun 2017 yang diadakan oleh Australia Indonesia Institute, di bawah Departemen Luar Negeri Australia.

Belajar dari Manusia Rp2.000 Triliun Jensen Huang: Filosofi Hidup Tukang Kebun yang Bikin ‘Kaya Raya’

Selama tinggal di sana, Nurjanni merasakan hangatnya kehidupan antarumat beragama.

“Komunitas Muslim di sana (Australia), tidak terlalu mengejar tentang target umat Muslim, tetapi lebih mengejar kualitas manusianya. Sehingga, baik Muslim dan non-Muslim, selama menghargai sesama manusia, di sana sangat welcome," ucap Nurjanni kepada VIVA.co.id, di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Kamis 18 Mei 2017.

Agung Wicaksono Menginspirasi dengan Pendekatan Ini untuk ITB

Jumlah komunitas Muslim di Australia, bisa dibilang sebagai kelompok minoritas, hanya 2,2 persen dari penduduk Australia, atau sekira 500 ribu jiwa.

Bersama dengan empat orang lainnya, Nurjanni mengunjungi tiga kota di Negeri Kangguru itu, yakni Melbourne, Canbera dan Sidney. Di sana, dia bertemu dengan tokoh-toko agama, tokoh kemanusiaan, dan tokoh multikulturalisme, dan penyambung hubungan Australia-Indonesia.

Dalam kunjungannya ke tiga kota tersebut, di beberapa sekolah di Australia, pelajaran agama tidak menjadi prioritas.

“Cuma ada salah satu sekolah ada yang belajar ethic dan wellbeing. Jadi, bukan hanya etika, tetapi jadi pribadi yang baik dan bahagia," ucap Nurjanni yang juga merupakan seorang guru.

Hal lain yang juga menarik, kata Nurjanni, meski sentimen radikalisme dan terhadap Kelompok LGBT (Lesbian, Gay Biseksual, Transgender) menguat, hampir mayoritas masyarakat masih bisa hidup berdampingan dan terbuka satu sama lain.

"Ketika saya mengunjungi gereja, mereka (umat Kristiani) di sana juga cukup welcome."

Di samping itu, meski isu LGBT juga menguat, kebanyakan orang di sana tak lantas mengucilkan kaum LGBT. Bagi mereka, setiap manusia diberi penghargaan yang sama sebagai manusia seutuhnya.

Tak terkecuali untuk kelompok LGBT, dan kelompok difabel. Menurut Nurjanni, banyak pula fasilitas di Australia yang sangat mendukung kelompok difabel.

"Jadi, yang dipelajari di sana, kita tidak bisa memonopoli kebaikan. Sejauh mereka manusia dan berbuat kebaikan, mereka layak diberikan penghargaan sebagai manusia,” ucapnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya