Wanita Indonesia Sering Alami Kekerasan dalam Bentuk Ekonomi

Masih banyak kalangan yang menganggap perempuan merupakan objek yang mesti disalahkan.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Dalam hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ada data menarik perhatian.

Terpopuler: Alasan Banyak Pria Tergoda Selingkuh hingga 8 Tantangan Karier Gen Z yang Harus Diatasi

Jika dilihat dari bentuk kekerasannya, kekerasan dalam bentuk ekonomi ternyata lebih tinggi dan lebih sering dialami oleh wanita usia 15-64 tahun selama hidupnya. Kekerasan ini seringkali dilakukan oleh suami atau pasangan.

BPS mencatat, sekitar satu dari empat atau sekitar 24,5 persen wanita yang pernah atau sedang menikah mengalami kekerasan ekonomi dari pasangannya selama hidupnya.

Dulu Bernafsu Sebagai Wanita Karier, Ini Pilhan Kartika Putri Sekarang

"Kekerasan ekonomi yang dimaksud bervariasi, mulai dari tidak diperbolehkan bekerja oleh pasangan, pasangan yang mengambil penghasilan atau tabungan tanpa persetujuan pihak istri, atau pasangan yang menolak memberikan uang belanja padahal diketahui memiliki uang," ujar Kepala BPS Suhariyanto kepada VIVA.co.id di Kantor BPS, Jakarta, Kamis, 30 Maret, 2017.

Suhariyanto juga merinci, sebanyak 19,5 persen wanita pernah mengalami kekerasan ekonomi berupa larangan bekerja oleh pasangan. Sementara itu, dari data yang sama juga terdapat 3,6 persen wanita yang tabungannya justru dirampas oleh pasangan tanpa persetujuan.

Awas Stuck! 8 Tantangan Karier Gen Z yang Harus Segera Diatasi

Selain itu, juga ada 5,1 persen pasangan yang menolak memberikan uang belanja, atau dalam kata lain tidak memenuhi hak istrinya.

"Dari situ kita dapat melihat bahwa kekerasan ekonomi jauh lebih dominan dibandingkan dengan kekerasan emosional dan seksual atau fisik. Kekerasan ekonomi itu banyak yang bentuknya tidak boleh kerja oleh pasangan yang sebesar 19,5 persen selama hidupnya, dan 6 persen dialami dalam 12 bulan terakhir," kata Suhariyanto menjelaskan.

Sementara itu, ditemui di kesempatan yang sama, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPA Vennetia Danes mengatakan, dalam sebuah pemaparan survei serupa di Peru dengan tema ‘Healthy Women Healthy Economy’, terungkap bahwa negara dengan tingkat kekerasan wanita yang rendah, memiliki pendapatan negara yang lebih tinggi.

Meski di Indonesia sendiri belum pernah dilakukan survei tersebut, menurut Venettia, hal itu bisa menjadi acuan untuk mengakhiri kekerasan terhadap wanita sekarang juga.

"Kalau perempuan itu terlepas dari kekerasan, maka akan meningkatkan perekonomian atau PDB (produk domestik bruto) suatu negara. Karena dengan pemberdayaan perempuan, maka mereka menjadi percaya diri sehingga tidak bergantung pada suaminya dan punya income sendiri, serta bisa lebih produktif lagi dan menggerakkan perekonomian," kata Vennetia. (hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya