Terungkap, Alasan Mengapa Wanita Korban KDRT Masih Pilih Bertahan dengan Pasangannya
- VIVA.co.id/Isra Berlian
Jakarta, VIVA – Diskriminasi berbasis gender adalah perlakuan tidak adil yang disebabkan karena perbedaan gender. Diskriminasi gender sendiri masih mengakar di berbagai negara dan wilayah di dunia sejak lama dan hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah sosial yang umum terjadi di dunia.
Sering kali diskriminasi gender, misalnya kekerasan terhadap perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender.
Berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan, berdasarkan data Komnas Perempuan di tahun 2023, kasus kekerasan gender tercatat ada lebih dari 450 ribu kasus yang terlapor dengan perempuan dan anak sebagai korban.
Kekerasan gender ini biasanya terjadi di ranah private contohnya di rumah. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Sayangnya dari banyak kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan masih banyak dari korban memilih untuk tetap bertahan pada pasangannya. Mengapa demikian?
Psikolog dari UPT Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi DKI Jakarta, Meinita Fitriana Sari, M.Psi mengungkap salah satu alasan utama perempuan masih bertahan lantaran adanya perasaan sayang dan harapan pelaku kekerasan akan berubah.
"Pertama, adanya perasaan sayang, ada perasaan harapan pelaku akan berubah. Terus, ingin masa depan lebih baik, ingin menyelamatkan pernikahan, itu salah satu alasan yang biasanya korban KDRT bertahan," kata dia dalam acara Talkshow Uni-Charm Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Walikota Jakarta Selatan, Rabu 4 Desember 2024.
Selain itu, adanya rasa kebergantungan perempuan terhadap pelaku. Terlebih banyak korban yang tidak berdaya dalam hal ini baik secara finansial maupun kepercayaan terhadap dirinya sendiri.
"Lalu bergantung pada pelaku, jadi karena tadi misalnya di dalam keluarga itu pembagian perannya tidak adil nih. Jadi misalnya istri atau korban tidak ada kesempatan untuk bisa membangun dirinya atau membangunnya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga ada ketergantungan kepada perlaku atau suami misalnya, sehingga ini juga sulit bahwa ada perlaku sebegitu,” ujarnya.
Lalu, alasan lainnya yang membuat wanita masih tetap bertahan meski mendapatkan tindakan kekerasan dari pasangan lantaran minimnya dukungan sekitar.
Jadi, banyak pemahaman di masyarakat yang ketika melihat tindakan kekerasan tersebut adalah permasalahan korban dan pelaku, sehingga orang di sekitarnya tidak ada hak mencampurinya.
"Padahal itu bentuknya sudah kekerasan, tidak bisa ditolerir lagi. Sementara banyak lingkungan di sekitarnya menganggap itukan masalah dia biarin aja. Minimnya dukungan sehingga dia merasa ya udah ditinggal sendiri," jelasnya.
Lalu, adanya emosi negatif, pertimbangan anak ini juga banyak terjadi, yang menyebabkan mereka masih bertahan dengan pasangannya.
"Jadi, kenapa masih banyak bertahan karena kasihan anak saya. Lalu, stigma jadi banyak sekali padangan lingkungan sosial yang tidak bisa dikontrol itu juga bisa menjadi alasan," ujarnya.
Di sisi lain, faktor perkembangan anak yang masih berkembang di usianya hinggaadanya faktor psikis dimana korban masih merasakan emosi negatif sehingga dia tidak tau apa yang harus dilakukan, juga menjadi alasan lainnya perempuan masih bertahan.
"Sulit lepas dari pelaku, yang menyebabkan kekerasan. Ada ancaman pelaku, ada stigma," kata dia.