Urusan Kecil, Masalah Besar: Waspada Kloset dan Urinoar yang Tak Ramah Syariat
- Pixabay
Jakarta, VIVA – Tidak sedikit muslim yang bepergian ke luar negeri mengalami sejumlah kendala-kendala khususnya ketika ingin berkemih atau buang air kecil. Pasalnya banyak negara yang tidak menyediakan bidet atau perangkat sanitasi yang digunakan untuk membersihkan area genital dan bokong setelah buang air besar maupun kecil. Di beberapa negara lebih memilih menggunakan tissue kering daripada menyediakan bidet.
Alhasil tidak sedikit dari kita yang selalu membawa botol kosong dan mengisinya dengan air di wastafel untuk membersihkan diri usai berkemih. Cara seperti ini dilakukan sebagai bentuk hati-hati agar bisa bersuci (istinja) dengan benar sesuai ketentuan fikih serta aman dari percikan najis.
Membahas soal kloset dan toilet bagi sebagian orang bisa jadi dianggap tidak penting. Apalagi dikaitkan dengan syariah. Apasih pentingnya membahas tempat buang kotoran kencing dan tinja dan apa hubungannya dengan prinsip syariah?
Wakil Sekertaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Abdul Muiz Ali, mengungkap bahwa ternyata ada beberapa kriteria kloset dan urinoar khusus laki-laki yang jika penggunanya tidak hati-hati atau tidak paham cara menggunakannya, maka konsekuensinya cara bersuci dari kencing dan kotoran tidak benar atau pakaianya menjadi najis (mutanajjis) disebabkan terkena percikan najis.
Pertama, uroniar berdiri dimana antara tempat saluran buang air kecil tidak disertai pembatas. Biasanya pembatas tersebut disebut dengan akrilik mika urine protektor.
Kedua, kloset duduk dengan model jet washer toilet shower baik yang digunakan laki-laki atau perempuan.
"Kloset model seperti ini airnya keluar dari arah belakang setelah alat kontrolnya digeser. Model kloset seperti ini rentan percikan najisnya pindah kemana-mana yang menyebabkan pakaian dan area sekitar menjadi najis (mutanajjis),"jelasnya dikutip dari situs resmi MUI.
Ketiga, jenis kloset yang menggunakan bidet di dalamnya yang memungkinkan najis terciprat ke mana-mana. Ini jenis-jenis yang rentan percikan najis kemana-mana.
Keempat, di sejumlah layanan umum, terdapat urinoar dimana saluran bagian bawahnya rusak sehingga justru air kencing tidak terbuang sebagaimana mestinya dan mengenai celana. "Ironinya, pengguna layanan tersebut menyadari adanya kerusakan di bagian urinoar itu setelah yang bersangkutan membuang hajatnya. Ini patut disayangkan," ujarnya.
KH Abdul Muiz Ali menjelaskan, sebenarnya belum ada peraturan yang menjelaskan tentang model kloset dan toilet yang sudah memenuhi standar syariah. Hanya saja bagi masyarakat atau pengelola tempat fasilitas umum, jika ingin membuat kloset atau toilet hendaknya dapat mempertimbangkan prinsip syariah yang memudahkan bagi penggunanya terhindar dari percikan najis.
Terkait pentingnya fasilitas umum seperti hotel misalnya bisa disebut sudah berkesesuaian syariah, dapat kita membaca keputusan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No: 108/DSN-MUI/X/2016Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam fatwa tersebut, katanya terkait ketentuan hotel syariah sebagaimana dijelaskan pada poin 4 terdapat ketentuan sebagaimana berikut yaitu menyediakan fasilitas, peralatan dan sarana yang memadai untuk pelaksanaan ibadah, termasuk fasilitas bersuci.
"Dalam Fatwa ini meskipun terkait dengan ketentuan hotel syariah, tetapi memiliki relevansi dengan pentingnya pengadaan fasilitas bersuci seperti kloset dan toilet yang dipandang lebih mencerminkan penerapan prinsip-prinsip syariah, baik kloset atau toilet di hotel, bandara, rest area, rumah sakit, perkantoran dan tempat/fasilitas umum lainnya," katanya.