Mengenal Istilah Silent Majority yang Kini Sedang Ramai
- freepik.com/8photo
Jakarta, VIVA – Istilah silent majority atau mayoritas hening pertama kali populer pada akhir tahun 1960-an, terutama dalam konteks politik Amerika Serikat, ketika Presiden Richard Nixon menggunakannya untuk merujuk pada segmen masyarakat yang relatif diam namun signifikan dalam jumlah, yang meskipun jarang mengekspresikan pandangan politik mereka secara publik, tetap memiliki kekuatan dan pengaruh besar dalam menentukan arah kebijakan negara. Mayoritas hening ini adalah kelompok yang jarang bersuara di media atau ruang publik, namun menjadi penentu utama dalam pemilihan umum karena keterlibatan mereka dalam proses pemungutan suara.
Di Indonesia, konsep silent majority semakin relevan dalam situasi politik kontemporer, terutama ketika masyarakat menghadapi ketidakpuasan dengan kondisi politik atau tidak merasa terwakili oleh tokoh atau partai tertentu. Scroll lebih lanjut ya.
Pada Pilkada Jakarta 2024, gerakan Silent Majority Jakarta (SMJ) yang mendukung pasangan calon independen Dharma Pongrekun dan Kun Wardana menjadi sorotan, mengingat adanya hasil survei Parameter Politik Indonesia (PPI) yang menunjukkan 42,6 persen pemilih Jakarta masih berada dalam kategori floating mass atau pemilih mengambang. Pemilih ini terdiri dari masyarakat yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan pemilih tidak loyal yang mungkin masih dapat dipengaruhi oleh kampanye paslon.
Menurut Ketua Relawan SMJ, Romeo V. Sianipar, angka pemilih mengambang yang tinggi menjadi indikasi kuat bahwa masyarakat Jakarta sebenarnya menginginkan kepemimpinan yang benar-benar berfokus pada kesejahteraan rakyat dan terbebas dari kepentingan politik transaksional. Silent Majority Jakarta menyebut diri mereka sebagai representasi dari suara mayoritas hening yang merasa bahwa anggaran besar Jakarta sebesar Rp70 triliun seharusnya dikelola secara langsung demi kesejahteraan rakyat, bukan sekadar menjadi lahan kepentingan bagi para elite.
“SMJ melihat ini sebagai bukti kuat bahwa warga Jakarta mendambakan kepemimpinan yang berfokus pada kesejahteraan rakyat dan membawa solusi nyata bagi kota. Jakarta, dengan anggaran lebih dari Rp70 triliun, harus memastikan bahwa dana tersebut kembali kepada rakyat, bukan hanya kepada elite,“ ungkap Romeo.
Gerakan SMJ dan pasangan calon Dharma-Kun menjadikan isu mayoritas hening ini sebagai strategi utama untuk menarik suara. Gerakan mereka juga menekankan nilai-nilai religius dan kesejahteraan bersama tanpa memandang latar belakang atau status sosial, sejalan dengan visi calon Gubernur Dharma Pongrekun yang menyebutkan bahwa “Jakarta ada dalam tangan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Besar, Maha Pengasih dan Penyayang. Biarlah kehendak Allah yang terjadi pada Jakarta.” Dengan kata lain, pasangan Dharma-Kun ingin Jakarta menjadi pusat stabilitas dan kemajuan ekonomi Indonesia dengan masyarakat yang harmonis dan adil.
Fenomena silent majority pada Pilkada Jakarta juga dipengaruhi oleh faktor ketidakpercayaan publik terhadap partai politik. Banyak masyarakat merasa jenuh dengan politik transaksional yang sering kali hanya mementingkan kepentingan segelintir orang.