Anak Dipukul Temannya? Ini Saran Psikolog untuk Orangtua

Ilustrasi sepakbola anak.
Sumber :
  • ist

Jakarta – Tak sedikit pola asuh yang berpengaruh terhadap cara anak bersikap saat beranjak besar sehingga membuat orangtua harus bijak dalam membangun pola pikir yang baik sejak dini.

Pernah Dilarang KB oleh Edwrad Akbar, Kimberly Ryder Kasih Pesan Ini Buat Para Wanita

Sayangnya, banyak orangtua yang menganggap bahwa ketika anak mendapatkan tindakan kasar dan buruk dari temannya harus dibalas dengan hal serupa, yang sebenarnya memberi pola asuh yang salah pada si kecil.

Hal itu dipaparkan oleh Psikolog Anak, Elly Risman saat hadir di Indonesia Morning Show, dikutip dari akun Instagram Parentinganaku Senin, 22 April 2024.

Mengenal Hernia Inguinal Umum Terjadi pada Bayi Laki-laki, Tak Bisa Sembuh Sendiri Perlu Tindakan Operasi

Banyak pertanyaan di benak orangtua mengenai sikap tepat dan saran yang diberikan pada anak ketika ada teman sebayanya yang memberi perlakuan kasar dan buruk. Tindakan paling pertama dari orangtua adalah menyalurkan emosi anak.

Mengintip Perayaan Hari Ibu di Berbagai Negara, Ada yang Sampai Pergi ke Pemakaman

"Yang bener begini. Anak itu selesaikan dulu urusan emosinya. Karena dia nggak bisa berpikir nanti dia akan bekerja dengan emosi, tidak dengan kemampuan berpikirnya. Itu kan otak kita dibagi-bagi, ya. Jadi ada pusat emosi, ada pusat berpikir, jadi kita selesaikan dulu. 'Ya ampun jadi kamu sakit ya nak, mananya sakit, apa yang kamu rasakan', Itu alirin dulu tuh," tuturnya.

Setelah emosinya tersalurkan, orang tua patut membuat anak berpikir kritis dengan mencoba berdiskusi akan perilaku teman sebayanya pada dirinya.

Hal itu dianalogikan saat orangtua bersikap buruk pada anak dan membuat anak sebaiknya bertanya-tanya alasan sikap itu dilakukan.

"Bagaimana baiknya, 'kok kamu digituin', gitu ya. Oke, sekarang kita peragain ya. 'Tadi kamu diapain, tadi dicubit, ya misal tadi ditonjok, oke kamu dipukul, terus kamu gimana?'. 'Kamu ngelak, terus kamu samperin ya'. 'Sekarang mama pukul kamu, terus kamu bilang apa, mama kenapa pukul aku'. Bagus gitu," kata Elly Risman.

"Kalau dia nggak tahu mesti ngomong apa, 'ya coba deh kamu pikir ya. Mama pukul kamu, kalau pukul ada alasannya nggak?' gitu. Jadi itu yang mesti kita bangun," sambungnya.

Pola pikir kritis anak harus dibangun sejak dini untuk membuatnya kelak dapat mengenali sumber konflik. Setelahnya, orangtua lantas memberitahu cara tepat dalam mengekspresikan amarah anak yang bukan dibalas dengan amarah lain.

Melainkan, kata Elly Risman, dibalas dengan kalimat yang penuh tanda tanya untuk menimbulkan simpati pada orang lain.

Ilustrasi anak-anak sedang bermain

Photo :
  • Kredivo

“Kedua, jangan mengekspresikan marah dengan marah lagi, dengan tindakan. Bilang dengan kata-kata. 'Oh karena orang itu akan tersadarkan gitu. Kenapa jadi mukul gue. Emang gue salah apa'. Jangan suruh untuk membalas dulu. Kalau misal dia udah sampai terancam, dia harus bela dirinya. Nah bela diri ada prosesnya lagi. Kita tanamkan gitu ke anak gimana prosesnya," jelas Elly Risman.

Proses berpikir seperti ini yang dibangun sejak dini membuat anak juga tak bersikap semena-mena terhadap sesama.

Dengan begitu, Elly Risman berharap generasi selanjutnya akan mampu menganalisa lebih baik untuk selanjutnya saling membantu kesulitan orang lain yang bermanfaat positif pada proses sosialisasi si kecil.

"Proses berpikir dia mesti dibangun, kenapa ya dia mukul. 'Dia mungkin bisa dapet kebiasaan mukul dari mana menurut kamu. Bisa nggak kamu nanya ke dia, jangan-jangan kasihan dia suka dipukul di rumahnya'. Semua harus gunakan kalimat bertanya. Supaya nanti anak punya kemampuan analisa kalau dia hadapi itu," jelasnya.

Ilustrasi gangguang ADHD pada anak

IDI Kabupaten Jepara Berikan Informasi Pengobatan bagi Gangguan ADHD Pada Anak

Di Indonesia, prevalensi ADHD pada anak sekolah diperkirakan mencapai 15 persen, yaitu 1 dari 20 anak.

img_title
VIVA.co.id
22 Desember 2024