Uniknya Peran Bahasa dalam Mencerminkan Kepribadian Politisi
- ist
JAKARTA – Dalam sebuah diskusi publik yang diadakan oleh Universitas Prasetiya Mulya dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), para pakar dari berbagai disiplin ilmu berbagi pandangan tentang pentingnya memahami bahasa dalam konteks kampanye Pemilu. Acara ini, bertajuk "Bahasa dan Kampanye Pemilu," membuka wawasan baru tentang bagaimana bahasa digunakan oleh calon presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat dalam menyampaikan pesan mereka.
Ekonom sekaligus Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Djisman S. Simandjuntak, menekankan peran bahasa sebagai pembeda antara manusia dan hewan. Menurutnya, bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk menyembunyikan niat atau mengungkapkan emosi yang beragam. Djisman menarik perbandingan antara penggunaan bahasa oleh tokoh-tokoh bersejarah seperti Schiller dan Adolf Hitler untuk menunjukkan bagaimana bahasa dapat mencerminkan kepribadian seseorang. Scroll lebih lanjut ya.
“Kita bisa menggunakan bahasa untuk menyembunyikan niat, mengungkapkan rasa murka, tapi juga mengungkapkan belas kasih, kekaguman, berandai-andai dan lain-lain. Bahasa adalah sesuatu yang sangat melible (mudah meleleh), bisa diputar-putar untuk mengungkapkan sesuatu yang penting maupun tidak penting," katanya.
Sastrawan dan mantan Rektor IKJ, Seno Gumira Ajidarma, memaparkan pentingnya literasi media dalam memahami kampanye. Ia menggarisbawahi bahwa apa yang disampaikan media bukanlah realitas sebenarnya, melainkan konstruksi yang dibuat oleh berbagai pihak. Seno mengajak masyarakat untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk kampanye yang disajikan, baik yang bersifat eufemistik maupun yang lebih terang-terangan.
“Dan (apa yang disampaikan) media itu sesungguhnya bukan realitasnya. Kita sering kurang sadar akan hal ini; dari mulai bangun tidur kita membuka media melalui TV atau HP, kita sering tidak sadar bahwa semua yang kita saksikan itu adalah ‘bikinan’ orang, bikinan tim, atau buatan orang usil, melalui proses editing, editor, melalui posisi media, dan segala macam terkait proses teknis itu, itu semua tidak ada yang riil sama sekali,: kata Seno.
Prof Zeffry Alkatiri, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, berpendapat bahwa peran akademisi sangat penting dalam menyadarkan masyarakat tentang framing yang terjadi dalam kampanye. Menurutnya, masyarakat harus menyadari bahwa kampanye sering kali merupakan upaya untuk menciptakan narasi tertentu yang bertujuan mempengaruhi pilihan mereka.
“Sekarang ini misalnya, di HP kita ada setidaknya tiga perebutan ruang narasi. Pertama kita disuguhi perebutan narasi produk-produk kapitalis, yang sifatnya sangat kompetitif, yang memperebutkan keinginan kita, emosi kita, kerangka pikir kita, agar kita membeli. Kedua, kita juga ditunjukkan perebutan narasi-narasi keyakinan, yang menjelaskan bahwa keyakinan A paling benar dan keyakinan B salah dan sebagainya. Dan ketiga, kita juga mau tak mau disodori perebutan narasi perang media; yang menyajikan media yang pro dan kontra dengan wacana masyarakat, yang pro dan kontra Barat atau Non-Barat, juga yang pro dan kontra kebijakan pemerintah. Semua framing itu harus bisa kita tangkal secara kritis, sehingga kita bisa berdiri secara netral dan memilah mana yang baik, mana yang buruk”, ujarnya.
Diskusi ini tidak hanya mengungkapkan bagaimana bahasa digunakan dalam konteks kampanye politik, tetapi juga bagaimana masyarakat dapat mempergunakan kesadaran kritis mereka untuk memilah informasi yang diterima. Melalui pemahaman yang mendalam tentang bahasa dan media, masyarakat diharapkan dapat membuat pilihan yang lebih matang dan informasi dalam Pemilu mendatang.