Generasi Milenial Pilih Jadi Petani? Bakal Punya Akses Canggih dan Berkelas Global

Ilustrasi petani milenial.
Sumber :
  • STEINBAUER Performance

JAKARTA – Lahan yang terus berkurang serta jumlah petani yang terus menurun menjadi tantangan bagi ketahanan pangan Indonesia. Saat ini, 70 persen petani yang ada di Indonesia berusia di atas 65 tahun.

Monitoring Program 'Genting'

Berdasarkan hasil survei Jakpat, hanya 6 dari 100 generasi Z berusia 15-26 tahun yang ingin bekerja di bidang pertanian. Ada sejumlah alasan mengapa banyak generasi milenial atau Gen Z tidak ingin bekerja di bidang pertanian antara lain pendapatan kecil, penuh risiko dan tidak menjanjikan.

Rendahnya minat pemuda bekerja di sektor ini pun membuat Indonesia harus puas berada di urutan keenam negara dengan proporsi tenaga kerja pertanian tertinggi di Asia Tenggara. Menurut ASEAN Statistics Division, proporsi tenaga kerja pertanian di Indonesia sebesar 29,8% pada 2020.

Kawasan Ini Didorong jadi Platform Pilihan

Ilustrasi karya inovasi pelajar untuk bidang pertanian

Photo :
  • ist

Posisi Indonesia berada di bawah Kamboja dengan proporsi tenaga kerja pertanian sebesar 32.1%. Sedangkan, Myanmar menjadi negara yang memiliki proporsi tenaga kerja pertanian paling tinggi di Asia Tenggara, yakni 48,9%. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.

Natal dapat Hadiah Platform Privasi Digital

Dan melihat kondisi tersebut serta bersiap menjawab tantangan akan pentingnya menjaga kebutuhan pangan di masa datang, maka Indonesia akan memberdayakan 62 juta petani Indonesia dengan AI dan transformasi digital.

Permasalahan itu yang membuat Erwin Gunawan mendirikan Gerakan Maju Tani. Menurut Erwin, masalah krisis pangan dunia sudah di depan mata dan tidak bisa diserahkan ke pemerintah saja.

Ilustrasi petani milenial.

Photo :
  • STEINBAUER Performance

Hal ini pun ditegaskan dengan membidik target yang dirancang oleh Gerakan Maju Tani Indonesia dalam rangka mencetak 10 juta petani muda digital pada akhir 2014. Dukungan besar pun terus dilakukan oleh Kepala Staf Kepresidenan yang juga Bapak Gerakan Maju Tani Indonesia, Moeldoko.

Moeldoko menekankan pentingnya keberlanjutan dan ekonomi digital, khususnya dalam mengatasi ketahanan pangan.

Gerakan akar rumput yang dipimpin oleh generasi muda di Indonesia, bertujuan untuk mengubah pertanian tradisional menjadi sektor teknologi pertanian yang sangat menguntungkan.

Dengan mengusung konsep metafarming, inovasi tersebut nantinya akan diselaraskan dengan platform berlabel Ekonomi Digital Hijau (GDEP) yang diluncurkan pemerintah Korea Selatan dan Indonesia pada Rabu 13 September 2023 di Seoul, Korea Selatan.

Peluncuran ini dalam rangka KTT ASEAN-Republik Korea ke-24 yang diadakan pada 6 September lalu yang menghasilkan kesepakatan untuk mempromosikan ekonomi hijau dan digital, ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi, serta netralitas karbon di kawasan.

GDEP adalah platform inovasi dan kolaborasi bisnis yang menyelaraskan ekonomi digital dan keberlanjutan dengan memelopori model 'cross economy', yang melampaui kerangka ‘circular economy” tradisional.

Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi Korea, pasar dan sumber daya Indonesia yang luas, serta riset dan investasi global, GDEP siap mendorong inovasi digital yang transformatif di bidang teknologi pertanian, teknologi iklim, dan perdagangan karbon.

“Hal yang menonjol dari GDEP adalah kepeloporannya dalam merintis paradigma baru dalam konvergensi ekonomi hijau dan digital. Bergerak melampaui ekonomi sirkular, kami mendorong ekonomi lintas sektoral, yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang eksplosif sambil mempromosikan keberlanjutan dan kesejahteraan digital,” ungkap Moeldoko.

“Dengan sumber daya alam Indonesia yang melimpah dan populasi yang muda, pendekatan ekonomi lintas sektoral dapat membuka potensi maksimum, menawarkan kendaraan yang luar biasa bagi kedua negara untuk memacu pertumbuhan ekonomi,” lanjut Moeldoko.

Provinsi Kalimantan Utara telah ditunjuk sebagai tempat uji coba platform ini, dan memainkan peran penting sebagai pusat nasional dan global untuk penyebaran pengetahuan.

Melalui GDEP, para petani akan menerima pelatihan literasi dan keterampilan digital sambil mendapatkan akses ke praktik dan teknologi terkini, termasuk meta-farming.

Pendiri HumanX / DQ Institute, Yuhyun Park mengungkapkan, tujuan membangun platform kolaborasi inovatif yang memberdayakan petani ini adalah untuk merasakan manfaat ekonomi 3 kali lipat dengan mengintegrasikan digitalisasi dan keterlibatan dalam perdagangan karbon, sehingga memperluas sumber pendapatan mereka secara signifikan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya