Miris! Dalam 18 Bulan, Hampir 16 Ribu Kasus Kekerasan Terjadi pada Perempuan
- Pixabay
JAKARTA – Dalam 18 bulan terakhir telah terjadi 15.921 kasus kekerasan pada perempuan. Hal ini diungkap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Data tersebut menunjukkan bahwa Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sangat penting karena pada tahun ini Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT) tepat berusia 19 tahun. Scroll untuk informasi selengkapnya.
UU itu harusnya sudah memberikan ruang bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk mengupayakan akses terhadap keadilan dan pemulihan. Namun kenyataannya belum maksimal dalam hal implementasi.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Ibu Eni Widiyanti, S.E., MPP., M.S.E, menekankan kalau Indonesia terbentuk untuk melindungi rakyatnya.
“Ada jaminan perlindungan yang terangkum di UUD 45, dan UU lainnya. Perlindungan itu setara untuk perempuan dan anak,” kata Eni dalam acara Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) kerja sama KPPPA dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia, Senin 4 September 2023.
Namun dia mengakui kalau masih ada perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi saat ini. Sepanjang tahun 2022 sampai dengan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang.
Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang. Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik dengan jumlah 7.940 kasus, kekerasan psikis berjumlah 6.576, kekerasan seksual berjumlah 2.948 kasus, dan penelantaran sejumlah 2.199 kasus.
Berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari - Juni 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah dalam rumah tangga (KDRT) yakni sebesar 48,04 persen (7.649 kasus) diikuti di tempat kejadian lainnya kemudian fasilitas umum, tempat kerja, sekolah dan lembaga pendidikan. Sedangkan sebanyak 60 persen (14.034 Kasus) kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual.
“Sekarang yang paling penting adalah bagaimana korban mau bicara. Sehingga mereka bisa mendapatkan bantuan dan juga pertolongan mengatasi trauma, sekaligus pelaku bisa diberikan efek jera,” kata Eni.
Ditambahkan Eni bahwa Penghapusan KDRT ini harus disosialisasikan dengan beberapa alasan, di antaranya data kekerasan masih tinggi dan UU PKDRT sudah hampir dua dekade. Eni mengatakan bahwa kolaborasi sangat penting untuk bisa membantu kampanye penghapusan KDRT di masyarakat.
“Dukungan dari media, dengan upaya penghapusan KDRT ini menjadi upaya kolaborasi. Tanpa upaya semua pihak cita-cita untuk melindungi bangsa terutama perempuan dan anak tidak bisa dicapai,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif JalaStoria Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. menjabarkan bahwa acara Kampanye Penghapusan KDRT akan dilakukan secara berkesinambungan dalam September 2023 ini.
“Kita akan mendengarkan tantangan yang dihadapi aparat penegak hukum, lembaga penyedia layanan, dan juga tokoh agama dalam penyelesaian KDRT. Tiga institusi ini yang kerap didatangi korban pertama kali,” kata Ninik.
Menurut Ninik masih sulitnya implementasi UU PKDRT ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Kurangnya sosialisasi dan juga tantangan dalam memberi keadilan bagi korban menjadi dua hal yang ditengarai sebagai masalah yang harus dicari solusinya.
Banyak hal yang menyebabkan KDRT begitu marak di Indonesia misalnya ketidaksetaraan gender, ketidaksetaraan dalam hubungan rumah tangga, ada masalah ekonomi, ketidakadilan sosial, kekerasan keluarga yang merupakan budaya tersembunyi, dan kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak individu.
Padahal KDRT ini memiliki dampak yang merugikan secara fisik, psikis dan sosial. Korban KDRT seringkali mengalami luka fisik, luka berat, trauma emosional, depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat menyebabkan perpecahan keluarga, disfungsi keluarga, dan reproduksi siklus kekerasan pada generasi berikutnya.
“Penghapusan kekerasan KDRT ini butuh dukungan karena penegakanannya belum dipahami oleh masyarakat dan penegak hukum, sehingga butuh tetap dikampanyekan,” tutur Ninik Rahayu.
Ninik mengatakan ada kasus yang mencuat, namun ada juga kasus yang belum muncul. Akses untuk menyelesaikan dengan jalur hukum juga belum banyak diketahui masyarakat. Belum lagi KDRT dianggap tabu dan biasa di budaya patriarki.
“Adanya delik aduan dalam UU PKDRT di beberapa pasal juga menyebabkan kasus KDRT diselesaikan secara damai,” ungkapnya.