Kenang Peran Letkol Dokter Soebandhi Dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia
- IDI
JAKARTA – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengenang perjuangan para dokter Indonesia di jaman perjuangan kemerdekaan RI. Salah satunya adalah Letkol Dr RM Soebandhi yang dikenal sebagai dokter tentara dan kini namanya diabadikan menjadi nama sebuah Rumah Sakit di kota Jember, Jawa Timur.
Momen mengenang perjuangan dokter ini sejalan dengan tema yang diangkat PB IDI tahun ini dalam HUT RI ke-78 yakni Terus Melaju Untuk Indonesia Maju. Sebab, tidak hanya merefleksikan semangat bangsa indonesia tetapi juga mengajak seluruh komponen bangsa untuk berkolaborasi dan bersinergi untuk kemajuan. Scroll lebih lanjut ya.
"Negara yang kuat didukung oleh rakyat yang sehat. IDI dan seluruh dokter Indonesia selalu siap untuk bersatu dan mengabdi untuk rakyat indonesia," ujar Ketua Umum PB IDI, DR Dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT., dalam keterangan pers IDI.
Sementara itu, Bidang Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter PB IDI, DR Dr Moh. Isman Jusuf, SpN mengatakan bahwa banyak peran dan kontribusi para dokter dalam perjuangan kemerdekaan RI. Karena Kemerdekaan RI itu diperjuangkan melalui berbagai cara, baik di medan perang, meja perundingan, maupun seni dan budaya.
"Peran Letkol Dr RM Soebandhi tidak hanya di medan perang, tetapi juga tidak melupakan tugas dasar seorang dokter yaitu merawat pasien dan prajurit yang terluka dan sakit," ceritanya.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya dalam perang kemerdekaan RI, nama Letkol Dr RM Soebandhi diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Daerah Jember, nama jalan, serta nama perguruan tinggi di Jember.
Untuk mengenang 70 tahun gugurnya Letkol. dr. Soebandi, 9 Pebruari 2019 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jember meluncurkan buku biografi berjudul Letkol dr. RM. Soebandi : Jejak Kapahlawanan Dokter Pejuang yang ditulis oleh Gandhi Wasono M dan Priyo Suwarno.
Biografi yang berisi kisah perjuangan dokter yang gugur penuh heroik di usia 32 tahun kemudian oleh TVRI Jatim diangkat menjadi film dokumenter dengan judul Jalan Sunyi dr. Soebandi dan disiarkan TVRI Nasional pada 13 Mei 2022. Film dokumenter tersebut sekaligus terpilih sebagai film dokumenter terbaik TVRI Nasional dan mendapat penghargaan piala “Gatra Kencana”.
Pada bulan Juni lalu, Universitas dr. Soebandi (UDS) Jember mendirikan Museum Letkol. dr. RM, Soebandi termasuk patung logam setengah badan. Museum yang berisi barang-barang peninggalan letkol Dr RM Soebandhi agar perjuangan beliau terus lestari dan menjadi inspirasi generasi mendatang.
Biografi Singkat Letkol Dr RM Soebandhi
Letkol dr. R.M., Soebandi, lahir pada 17 Agustus 1917 di Klakah, Lumajang adalah anak sulung pasangan R. Soeradi Wignjosoekarto, kepala masinis stasiun Klakah, dengan RA. Siti Mariam.
Soebandi menamatkan sekolah Hollandsche Indlandsche School (HIS) di Lumajang. Karena dari keluarga ningrat oleh pemerintah kolonial diperbolehkan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Probolinggo dan lulus tahun 1935. Selanjutnya Soebandi melanjutkan ke Aglemeene Middlebare School (AMS) di Surabaya lulus tahun 1938.
Untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang dokter, Soebandi melanjutkan sekolah di Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) Surabaya, sekolah kedokteran yang menjadi cikal bakal berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Soebandi yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata atas dukungan orangtuannya ingin menjadi dokter yang di masa itu adalah sebuah profesi langka karena semata-mata ingin membantu agar masyarakat mendapat layanan kesehatan yang layak.
Pada saat kuliah di NIAS inilah Soebandi menemukan pujaan hatinya bernama Rr. Soekesi yang kemudian menikah pada tahun 1944.
Tahun 1942 ketika Jepang masuk ke Indonesia kuliah Soebandi yang hampir lulus sempat terhenti. Jepang yang berhasil mengalahkan Hindia Belanda setelah memenangi perang Asia Timur Raya membubarkan semua lembaga pendidikan bentukan kolonial Belanda termasuk NIAS.
Soebandi sempat frustasi karena khawatir mimpinya menjadi dokter pupus. Harapannya kembali muncul ketika awal tahun 1943 Jepang membuka sekolah tinggi kedokteran Ika Daigaku di Jakarta, menggantikan STOVIA yang dibubarkan. Soebandi bergegas ke Jakarta melanjutkan kuliahnya hingga akhirnya pada 12 November 1943 dinyatakan lulus sebagai dokter.
Selama berada di Jakarta, jiwa nasionalisme Soebandi bangkit. Ia tinggal di asrama mahasiswa Ika Daigaku di Jl. Prapatan 10, yang menjadi tempat para aktivis kemerdekaan berkumpul.
Mahasiswa yang menamakan dirinya Masyarakat Prapatan 10 menganut ideologi “Reine Jurgend Ideologie,” atau ideologi tanpa pamrih yang anti kedholiman, perongrongan, dan anti menginjak-injak hak asasi rakyat. Mahasiswa Prapatan 10 ini salah satu kelompok yang aktif mendorong Soekarno-Hatta segera membacakan teks proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Selepas lulus dokter, Soebandi, kembali ke Jawa Timur dan langsung terjun di dunia militer dengan mengikuti pendidikan tentara PETA dan lulus sebagai Eise Shodanco atau Perwira Kesehatan Batalyon dan di tempatkan di Lumajang, setahun kemudian pangkatnya naik menjadi Eise Chudanco, menjabat sebagai Kepala kesehatan seluruh Batalyon PETA di Karesidenan Malang.
Pada 1945 setelah Jepang kalah perang, PETA dibubarkan Soebandi beralih menjadi dokter tentara di Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas di berbagai rumah sakit, mulai Probolinggo, Lumajang dan Malang.
Rumah Sakit Djawatan Kesehatan Tentara (DKT) Jember yang sekarang bernama RS. Baladhika Husada yang didirikan tahun 1946 menunjuk dr. Soebandi, sebagai kepala rumah sakit pertama kalinya.
Karena di masa itu seorang tentara yang sekaligus dokter amat langka sehingga tenaga dr. Soebandi sangat dibutuhkan tidak hanya di kawasan Jawa Timur tetapi juga dilibatkan sampai ke Jawa Barat untuk bergabung dengan kesatuan lain ketika melakukan peperangan dengan pasukan sekutu.
Setelah bertugas di berbagai kesatuan pada Desember 1948 Letkol dr. RM, Soebandi, ditugaskan sebagai wakil komandan Brigade III Damarwulan mendampingi komandan Letkol. Mochamad Sroedji. Selain sebagai wakil komandan Soebandi merangkap sebagai Residen Militer Besuki dan dokter militer.
Sesuai hasil perjanjian renville semua pasukan Brigade III Damarwulan serta kesatuan lain di wilayah Besuki hijrah ke Blitar. Namun kemudian Belanda mengingkari isi perjanjian Renville bahkan melakukan Agresi Militernya ke dua dengan melakukan serangan besar-besaran. Tanggal 29 Desember 1948 atas perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman, pasukan yang ada di Blitar diminta untuk kembali ke daerah asal dengan melakukan aksi wingate dan bergerilya melawan Belanda.
Brigade III Damarwulan kembali ke wilayah Besuki menuju Socopangepok di lereng Argopuro untuk membangun kekuatan baru. Sepanjang perjalanan sering terjadi kontak senjata, karena minimnya amunisi dan persenjataan maka pasukan Damarwulan kewalahan dan banyak menjadi korban.
Dini hari tanggal 8 Pebruari 1949 pasukan Damarwulan yang berjumlah kurang dari 100 orang kelelahan dan kelaparan sehingga di pagi buta istirahat di Desa Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember yang berada di tepi hutan. Ternyata keberadaan rombongan ini diketahui oleh mata-mata dan dilaporkan kepada induk militer Belanda di Jember.
Ketika istirahat dan tengah menikmati sarapan pagi suguhan penduduk desa, pasukan Belanda dari Kompi IV Batalyon XXIII KNIL dibawah komando Lettu F.G Schelten melakukan penyergapan dengan sistematis. Mendapatkan serangan mendadak pasukan Damarwulan mempertahankan diri dan mundur ke arah hutan.
Dokter Soebandi berhasil lolos tetapi begitu melihat Sroedji tertembak jatuh dia keluar dari tempat berlindung lalu bangkit dan berlari menuju tubuh sahabat sekaligus komandannya. Dengan penuh emosi Sroedji yang terkapar bermandikan darah dibopong diselamatkan.
Saat memapah itulah, Letkol dr. Soebandi diberondong senapan oleh Pratu Josep Kesek dari KNIL hingga jatuh tersungkur dan gugur berdampingan.
Selain keduannya, belasan pasukan serta warga desa ikut jadi korban. Jasad dr. Soebandi, oleh masyarakat desa di makam di lokasi kejadian tetapi karena banyaknya korban baru diketemukan dan teridentifikasi pada 23 Maret 1950. Atas prakarsa masyarakat Desa Karang Kedawung sekitar tahun 1980an di lokasi pertempuran didirikan monumen untuk mengenang para pahlawan yang gugur di sana.
Seluruh hidup dr. Soebandi diberikan untuk republik. Ia meninggalkan kemapanan demi kemerdekaan dari tangan penjajah. Ia rela meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk berjuang di medan tempur. Almarhum Letkol Dr RMK Soebandhi yang meninggalkan seorang istri, Rr. Soekesi, dan tiga orang putri, Widyasmani, Widyastuti dan Widorini.