Cara Anak-anak Pemulung di Bantar Gebang Rayakan Hari Anak Nasional
- Pixabay
VIVA Lifestyle – Kerumuman anak anak dari segala usia berkumpul di halaman yang ditumbuhi pepohonan di depan ruang kelas darurat yang terbuat dari bambu. Mereka berkumpul merayakan Hari Anak Nasional. Pemandangan yang sangat indah, kecuali bau sampah yang tidak diragukan lagi serta kotoran yang terpapar angin sepoi-sepoi.
Dengan latar bangunan sekolah yang bernama Sekolah Alam Tunas Mulia di Bantar Gebang, momen Hari Anak Nasional diperingati oleh Tropical Go Green bersama anak anak pemulung di Sekolah Alam Tunas Mulia Bantar Gebang ini. Kegiatan ini ditandai dengan penyerahan sepatu dan tas yang terbuat dari bahan hasil daur ulang sampah plastik yang terkumpul selama periode Mei – Juli 2022 ini, baik dari lokasi penampungan sampah botol plastik yang tersebar di penjuru ibu kota dan kemudian didaur ulang, sampai hasil dari penjualan Tropical Go Green yang sebagian diberikan untuk biaya pembuatan Sepatu dan Tas bagi anak anak yang membutuhkan. Kedua hal ini merupakan bagian dari kampanye Tropical Generasi Peduli yang dijalankan sejak Februari hingga sepanjang tahun 2022.
Anak anak sederhana yang selalu ceria ini, bersekolah 3 kali dalam seminggu di fasilitas sekolah ini yang terletak di kaki gunung sampah terbesar di Indonesia. Mereka melaksanakan pendidikan ini secara informal dengan semangat yang luar biasa yang dibantu oleh tenaga sukarela dan sumbangsih pikiran dan bantuan peralatan sekolah dari para donatur.
Di hari lainnya mereka mengais sampah plastik yang bisa di daur ulang untuk menambah penghasilan keluarga. Terlepas dari peran penting mereka sebagai pemulung, dalam sistem pengelolaan sampah di Indonesia yang semakin menantang, mereka pun tidak mempunyai penghasilan tetap yang mencukupi hidup sehari-hari.
Anak-anak para pemulung ini dihantui oleh bahaya kesehatan pencemaran udara, bertempat tinggal di tempat yang tidak higienis, tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan yang mencukupi, dan tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan yang layak. Mereka memiliki hubungan yang rumit bersama gunung sampah. Mata rantai kemiskinan inilah yang coba diputus oleh pendiri Sekolah Alam Tunas Mulia, Juwarto, SE, dengan menyediakan sekolah gratis bagi anak anak pemulung sampah,
di daerah yang tidak terjangkau infrastruktur pemerintah.