Kisah Alegra Wolter, Dokter Transpuan Pertama di Indonesia

dr. Alegra Wolter.
Sumber :
  • Tangkapan layar Youtube VDVC Talk.

VIVA – Alegra Wolter, seorang dokter lulusan Unika Atma Jaya, memutuskan untuk bertransisi menjadi transpuan saat duduk di bangku kuliah. Alegra, begitu sapaan akrabnya, sudah merasa dirinya berbeda sejak usia 3-4 tahun. 

Geger Pria India Tiba-tiba Hidup Lagi saat Akan Dikremasi, 3 Dokter Diskors

"Dan tentunya pada waktu itu tidak terpikirkan di kepalaku nama 'oh ini transgender, ini gender'. Tapi yang aku rasakan adalah perasaan internal bahwa aku ini berbeda, aku punya salah satu memori ketika sedang liburan di Bali bersama keluarga. Waktu itu biasalah anak kecil kita lagi main di taman, aku sangat menyukai bunga-bunga. Jadi aku sering ngumpulin bunga," kata Alegra mengawali ceritanya di Youtube VDVC Talk, dikutip VIVA, Selasa 12 Juli 2022. 

Pada saat itu, Alegra merasa bahwa bunga-bunga tersebut merupakan representasi dari jiwanya. Namun karena masih kecil, Alegra tak bisa mendeksripsikan perasaannya dan belum memahami bahwa dirinya memiliki dysphoria.

Heboh Eks Dandim Makassar Diduga Selingkuh di Hotel Bareng Istri Dokter

"Ketika masuk TK usia 5-6 tahun, mungkin aku secara psikologis udah mulai paham. Kayanya ini hal-hal yang dianggap boleh dilakukan, ada yang tidak boleh dilakukan," ujarnya. 

Prabowo Minta PM India Kirim Dokter Spesialis untuk Mengajar di Kampus Indonesia

"Itu aku sering main sama Mba (ART) dan aku iseng pake lipstiknya Mba, saat TK atau menjelang SD aku lupa. Aku seneng aja. Kalau main sama temen-temen, aku kan banyak temen cowok waktu kecil, tapi suka main rumah-rumahan dan aku jadi ibunya di rumah. Itu kan sesuatu yang dari role playing, aku rasa itu berbeda," sambung dia. 

Mengetahui kondisi anaknya, orangtua Alegra sempat denial. Mulai dari menyarankan anaknya untuk lebih sering berolahraga agar terlihat lebih macho hingga dibawa ke psikolog dan psikiater. 

"Sempet dibawa ke beberapa psikiater, psikolog dan kadang beberapa ada yang gak paham dengan kondisi saya," tuturnya. 

Tidak hanya itu, bahkan orangtua Alegra memintanya untuk melakukan terapi hormon saat masih remaja. Diceritakannya, saat terberat adalah ketika Alegra duduk di bangku SD, di mana dia harus menghadapi bullying yang luar biasa dari lingkungan sekitar.

dr. Alegra Wolter.

Photo :
  • Tangkapan layar Youtube VDVC Talk.

"Waktu itu aku juga mengalami bullying luar biasa ya dari sekolah, teman, dan juga guru SD yang paling berat. Banyak banget (bullying), waktu SD sebenarnya pelecehan seksual, ada anak lain tiba-tiba cium aku dan pas aku cerita ke guru malah aku yang disalahin," ungkapnya. 

"Itu satu, atau bullying-bullying lain dijauhin, kerja kelompok gak ada yang mau bareng aku dan itu membekas sekali. Itu bahkan SMP-SMA juga ada yang demikian, tapi SMA lebih luas pergaulannya dan aku lebih banyak punya temen yang baik. Tapi SD agak berat karena aku masih kecil dan mengalami ini pertama kali dan itu cukup membekas," tambah dia. 

Ketika mencoba melaporkannya pada guru-gurunya di sekolah, Alegra justru diminta untuk berubah dan jangan terlalu tampil feminin. 

"Jadi femininitas aku yang disalahin. Padahal kalau aku berpura-pura jadi maskulin juga gak bisa," imbuhnya. 

Alegra untuk pertama kali browsing mengenai perubahan jenis kelamin saat duduk di bangku SMP. Namun, waktu itu dia sama sekali belum berpikir ke arah sana. Hingga akhirnya Alegra melupakan masalah gendernya hingga duduk di bangku kuliah. Namun, hal itu malah menimbulkan masalah baru, seperti timbul gejala-gejala kecemasan. 

Usai melakukan konseling dan mencari tahu lebih jauh soal kondisi dirinya, Alegra akhirnya mantap meminta izin pada orangtuanya untuk bertransisi. Namun, lagi-lagi tak kunjung mendapatkan restu. 

"Akhirnya aku memutuskan sendiri without their blessing tapi at the time udah berpikir lebih baik aku nyebrang atau aku mengakhiri hidupku. Kalau di kedokteran aku udah mulai Google, cara yang paling tidak menyakitkan untuk melakukan hal tersebut. Tapi sebenarnya itu sangat tidak sehat ya, kalau kita berpikir demikian," pungkasnya. 

"Akhirnya aku memilih untuk bertransisi tanpa blessing orangtua, mulai taking anti androgen, hormon juga dan setelah beberapa lama aku merasa aku lebih in line dengan diriku sendiri. Masalah hidup tentu akan selalu ada, tapi rasanya dulu hidup kaya hitam putih, tapi setelah aku..lebih berwarna," sambungnya. 

Kini, Alegra mengaku secara perlahan orang-orang di sekelilingnya mulai bisa menerima perubahan pada dirinya, termasuk orangtuanya. Terlebih, Alegra membuktikan hal itu dengan prestasinya menjadi dokter dan aktif menjadi aktivis keberagaman gender. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya