Fakta Suku Korowai, Pemilik Rumah Pohon Puluhan Meter di Papua

Suku Korowai di Papua yang terkenal dengan rumah pohon tinggi
Sumber :
  • George Steinmetz

VIVA Lifestyle – Portal berita Inggris, BBC, pada April 2018 membuat pernyataan kepada publik bahwa salah satu liputan mereka merupakan tayangan yang tidak benar alias rekayasa. Tayangan itu adalah seri Human Planet tentang Papua yang tayang pada 2011 lalu. Film tersebut menceritakan suku Korowai sebagai orang-orang yang masih bertempat tinggal di rumah pohon yang terletak 10 hingga 12 meter dari atas tanah.

Perkuat Teritorial di Papua, Satgas Habema Yonif 6 Marinir Gelar Komsos hingga Bagikan Sembako ke Warga Dekai

Persoalan menjadi pelik ketika kru film lain datang ke wilayah tersebut, saat itu keadaan sudah berbeda. Rumah yang ingin diliput ternyata sudah tidak berbentuk seperti keadaan sebelumnya. Rumah itu sudah tinggal sisa-sisanya, kayu-kayu penyusunnya sebagian sudah runtuh ditiup angin dan tidak ada orang yang tinggal di sana. Sampai akhirnya orang-orang Korowai mengatakan bahwa rumah pohon itu memang sengaja dibuat untuk kepentingan tayangan televisi saja.

BBC telah mengeluarkan klarifikasi, mereka mengatakan bahwa praktik jurnalisme itu telah 'melanggar standar redaksional' mereka, mereka pun mengakui bahwa mereka sudah memperbaiki arahan redaksionalnya.

Keluarga Rewang Tuntut Polisi Proses Kasus KDRT Cawagub Papua Terpilih

suku korowai papua

Photo :
  • amusingplanet.com

Rumah pohon tinggi dibuat hanya untuk keperluan film

Cagub Papua Matius Fakhiri Gugat Hasil Pilgub Papua ke MK: Menjalankan Konstitusi

Tayangan BBC yang memberitakan kejanggalan itu adalah tayangan berjudul My Year with The Tribe. Dalam proses produksi tayangan itu seorang anggota suku mengatakan pada pembawa acara, bahwa rumah pohon itu semata-mata dibuat hanya untuk keperluan membuat film.

Pembawa acara langsung menuturkan dalam tayangan berikutnya bahwa rumah pohon yang telah tayang sebelumnya adalah sepenuhnya buatan. Rumah pohon itu bukanlah tempat tinggal mereka suku Korowai ini. Rumah itu dibuat semata karena kepentingan turis dan televisi.

Rupert Stasch, antropolog dari Cambridge, dalam sebuah artikel yang dimuat dalam jurnal Antropologi Cambridge tahun 2011, mencatat bahwa berita rumah pohon Korowai telah menjadi sangat populer di pertengahan 90-an.

Tahun 1994, film produksi Arts & Entertainment Channel tayang di Amerika Serikat dengan judul Treehouse People: Cannibal Justice. Kemudian tahun 1996, National Geographic mempublikasikan serial foto berjudul "Irian Jaya's People of Trees".

Sejak itulah, rumah pohon Korowai menjadi sangat terkenal dan dimuat belasan majalah dan koran. Ada sekitar dua puluh stasiun televisi memberitakannya. Mulai dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Austria, Swedia, Finlandia, Japan, Australia, Swiss, Italia, Kroasia, Slovakia, Republik Ceko, Vietnam, bahkan televisi dari Indonesia sendiri TVRI.

Rumah pohon Suku Korowai

Photo :
  • Negeri Timur

Rumah Korowai yang sebenarnya

Budaya pemberitaan bergambar itu telah memantik gagasan pembacanya tentang rumah pohon dari masa lalu yang dianggap masih ada dan hidup hingga saat ini. Padahal yang sebenarnya terjadi hanyalah pemberitaan yang berlebihan atau "overrepresentation".

Rumah utama orang Korowai adalah rumah yang diberi nama xaim. Rumah ini adalah rumah yang biasa dibuat di atas tonggak-tonggak dari pohon-pohon ukuran kecil yang menjadi pancang. Umumnya xaim ini tingginya antara 10 hingga 30 kaki dari permukaan tanah. Sekitar 3 hingga 9 meter dari permukaan tanah. Rata-rata rumah jenis ini pun hanya sekitar 15 kaki atau 4,5 meter.

Orang Korowai juga punya rumah yang dibangun hanya satu meter di atas tanah atau bahkan tidak berpanggung sama sekali. Rumah ini disebut sebagai xau. Namun, foto-foto tentang rumah ini sangat jarang dipublikasikan.

Gambaran rumah yang sangat menarik perhatian dunia global adalah rumah jenis ketiga yang disebut sebagai lu-op, artinya rumah yang harus dipanjat, orang Korowai sangat jarang membuat rumah jenis ini. Rumah ‘panjat’ ini umumnya berada di ketinggian 15 hingga 35 meter di atas pohon besar yang hidup. 

Foto rumah ‘panjat’ yang sangat terkenal adalah foto yang diambil oleh George Steinmetz pada 1995. Foto itu yang kemudian dipublikasikan di National Geographic pada 1996. Beberapa bulan kemudian foto ini dipublikasikan kembali di Reader's Digest, dan sejak saat itu menjadi foto yang paling banyak direproduksi untuk berbagai keperluan.

Imajinasi orang luar tentang rumah suku Korowai dalam pandangan Rupert Stasch sudah ‘out of proportion’.

Orang Korowai bercerita bahwa rumah mereka yang paling banyak adalah jenis xaim.  Tujuh dari sepuluh rumah adalah rumah jenis ini. Sedangkan tiga dari sepuluh rumah adalah model xau. Hanya satu dari lima puluh rumah baru ada rumah jenis lu-op atau rumah panjat.

Dalam sejarah Korowai rumah panjat adalah rumah yang dibangun oleh pemuda-pemuda Korowai untuk menikmati pemandangan yang luar biasa. Tempat untuk menyerukan pekikan atau suara-suara dari ketinggian. Rumah panjat ini adalah bentuk pamer yang tidak terlalu penting kepada kelompok lain untuk memperlihatkan kekuatan atau kebesaran. Tetapi rumah ini tidak pernah digunakan untuk hunian.

Tradisi suku Korowai Papua.

Photo :
  • U-Report

Nasib rumah buatan

Bagi masyarakat Korowai, rumah panjat adalah rumah yang tidak perlu-perlu amat. Rumah jenis lain dari kebutuhan mereka, untuk membuat rumah panjat ini memerlukan kerja yang ekstra dan hampir tak ada gunanya, saat itu orang Korowai biasa membuat rumah jenis panjat ini karena ada permintaan dari kru film dan turis.

Ongkos untuk membuatnya sekitar 300 hingga 1.000 dolar. Sebagai contoh pada Maret 2010, dua rumah yang dibangun di atas pohon tertinggi telah dibuat untuk dua pemesan. Yang pertama untuk rombongan turis Jerman dan yang kedua dibangun untuk rombongan kru film Jepang yang akan membuat film dokumenter untuk Fuji TV yang mereka beri judul Unbelievable!

Booming-nya pemberitaan tentang rumah Korowai yang eksotis selama dua puluh tahun terakhir adalah bagian dari fenomena budaya global yang menyajikan tampilan bergaya ‘primitif’ sebagai sesuatu yang sangat laku di pasaran.

Sumber: indonesia.go.id

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya