Cuti Ibu Hamil Jadi 6 Bulan Didukung Banyak Pihak
- pixabay
VIVA – Penetapan masa cuti melahirkan sebelumnya diatur pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja dengan durasi waktu sebatas 3 bulan. Kemudian Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) untuk dibahas lebih lanjut menjadi UU, mendorong cuti ibu hamil menjadi 6 bulan.
Usulan cuti melahirkan 6 bulan dalam RUU KIA dinilai sebagai kebijakan penting yang seharusnya sudah disahkan pemerintah RI sejak lama. Hal ini dikatakan oleh peneliti dari kedokteran komunitas dan kedokteran kerja, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK. Menurutnya, kebijakan cuti melahirkan 6 bulan adalah kebijakan mutlak karena berbagai kajian ilmiah dari kesehatan masyarakat.
“Kedokteran hingga public policy sejak tahun 1990an sudah membuktikan bahwa cuti 3 bulan saja pasti akan menyebabkan kegagalan ASI eksklusif, sehingga berdampak pada Kesehatan ibu dan bayi. Bahkan penelitian kami di FKUI juga menunjukkan ibu pekerja dan buruh yang harus kembali bekerja sebelum usia bayi 6 bulan, selain ASI eksklusif nya risiko gagal, juga produktivitasnya tidak optimal,” ungkap Dr Ray saat dihubungi melalui telepon.
Dr Ray menegaskan fokus utama pada cuti melahirkan 6 bulan untuk mendukung dan memastikan keberhasilan ASI eksklusif di enam bulan pertama kehidupan bayi. Saat ini, kondisinya menjadi tidak konsisten, karena pemerintah menargetkan kesuksesan ASI Eksklusif tetapi jutaan ibu pekerja justru tidak diproteksi hak menyusui nya hingga 6 bulan. Sementara itu, dukungan laktasi di tempat kerja di Indonesia dinilai belum maksimal.
“Jadi memang Langkah yang paling strategis adalah intervensi kebijakan publik dengan kebijakan cuti 6 bulan ini,” ucap pria yang kerap memberikan edukasi kesehatan melaluin akun Instagram @ray.w.basrowi.
Dr Ray menambahkan, apabila kekhawatiran utama pemerintah dan pemilik usaha adalah aspek profit karena harus tetap memberi upah penuh selama cuti 6 bulan, poin ini sebenarnya sudah dikaji mendalam lewat banyak penelitian di seluruh dunia. Hasilnya, memaksakan ibu bekerja di periode awal terutama di 6 bulan pertama setelah melahirkan produktivitas nya menjadi tidak maksimal.
“Karena ibu pekerja akan perlu sering break atau izin untuk pompa ASi disela waktu kerja, kemudian ibu menyusui yang sambil bekerja juga akan lebih capek dan konsentrasi terganggu. Bahkan tingkat absensi juga menjadi lebih tinggi di kalangan ibu menyusui yang kembali bekerja sebelum bayi usia 6 bulan,” kata Ray.
Penelitian Dr Ray Wagiu Basrowi tentang laktasi pada pekerja sejak tahun 2012 menunjukkan, cuti yang hanya 3 bulan adalah penghambat utama ASI eksklusif. Di tahun 2015, prevalensi ASI eksklusif di kalangan pekerja terutama buruh pabrik hanya 19% atau satu dari dua buruh perempuan yang menyusui gagal ASI eksklusif karena faktor harus kembali bekerja saat bayi masih 2-3 bulan.