Perkotaan Pulau Jawa Hasilkan 189.000 Ton Limbah Plastik

botol plastik.
Sumber :
  • Unsplash

VIVA – Permasalahan limbah plastik di Indonesia masih belum usai. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2020 Indonesia menghasilkan 67,8 juta ton sampah.

Saatnya Industri Kopi Indonesia Berpikir Hijau

Terkait sampah plastik, hasil penelitian Sustainable Waste Indonesia (SWI) dan Indonesian Plastic Recyclers (IPR) pada tahun 2020 lalu mencatat, produksi limbah kemasan plastik di perkotaan Pulau Jawa saja sekitar 189.000 ton per bulan atau 6.300 ton per hari. Sayangnya hanya sekitar 11,83 persen atau sekitar 22.000 ton per bulan yang didaur ulang.

Disampaikan Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ujang Solihin Sidik, pihaknya ingin menyoroti dampak dari limbah kemasan air minum terhadap lingkungan, dan bagaimana kebijakan pemerintah dalam konteks pengelolaan sampah, khususnya sampah kemasan dari air minum dalam kemasan (AMDK).

Keresahan di Balik Munculnya Inovasi Pelepah Pinang

“Ada tantangan yang harus menjadi perhatian kita semua terkait dengan kemasan AMDK, karena kita melihat kemasan plastik seperti PET (Polyethylene terephthalate) yang didaur ulang menjadi botol PET kembali masih sangat kecil. Sebagian besar kemasan PET yang umumnya digunakan untuk kemasan pangan justru menjadi polutan atau sampah buat lingkungan,” ujar Solihin dalam keterangannya.

Dalam kesempatan berbeda, tokoh muda pegiat laut bersih yang aktif di bawah Yayasan Penyelam Lestari Indonesia atau Divers Clean Action (DCA), Swietenia Puspa Lestari mengatakan, untuk mencegah penumpukan limbah kemasan plastik di permukaan tanah dan di perairan, penting bagi perusahaan-perusahaan produsen produk berkemasan plastik untuk menerapkan ekonomi sirkular.

Cara Mengurangi Limbah Plastik: Transformasi Kecil yang Membawa Dampak Besar bagi Lingkungan

“Saya setuju dengan penerapan ekonomi sirkular, dan sesuai dengan hierarki pengolahan sampah, kita harus mengurangi sampah dari sumbernya. Dalam arti kita ikut mengedukasi masyarakat untuk menolak penggunaan kemasan yang tidak bisa didaur ulang, atau yang sekali pakai,” ujarnya.

Ilustrasi botol plastik

Photo :
  • Pixabay/techmania

Seputar adanya wacana pelabelan BPA (Bisphenol-A) Free pada galon guna ulang yang telah memunculkan perdebatan di lingkup pelaku industri AMDK, Swietenia mengaku memperhatikan upaya produsen dan masyarakat untuk mencegah bertambahnya limbah plastik terutama yang bukan daur ulang.

“Ini membuat kita memahami bahwa kita harus mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dengan mengedepankan reduction, pengurangan (bahan baku kemasan plastik, red) dari sumber. Kita bisa menggunakan kemasan guna ulang, walaupun masih berbahan plastik. Penggunaan plastik sekali pakai berisiko meningkatkan volume timbunan sampah,” imbuhnya.

Tenia, juga mengapresiasi langkah korporasi yang bertanggung jawab atas limbah kemasan plastik yang berasal dari produk yang dipasarkan ke masyarakat, serta ikut berperan mengurangi timbulan limbah plastik dari proses produksi mereka dengan menggelar take back scheme dengan cara meminta para konsumennya mengembalikan sampah plastik ke produsen agar bisa didaur ulang, atau digunakan kembali

Sepakat dengan Tenia, tokoh muda pegiat lingkungan hidup lainnya yang juga founder & CEO Evoware, David Christian mengemukakan bahwa produsen harus bertanggung jawab dalam mengolah kemasan plastik yang mereka hasilkan, baik lewat program untuk mengolah kembali kemasan tersebut atau recycle.

David sepakat bahwa penggunaan kemasan plastik sekali pakai semisal kemasan air minum, bisa menimbulkan masalah baru di lingkungan.

“Persoalannya bukan hanya pada kemampuannya untuk bisa didaur ulang atau di-recycle, tapi bagaimana cara galon sekali pakai ini tak tercecer di lingkungan. Potensi tercecernya masih besar, apapun yang sekali pakai,” kata David.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya