5 Suku Pernah Terapkan Praktik Poliandri, Bisa Berbagi Istri

Keindahan Istana Potala Tibet
Sumber :
  • http://www.mobgenic.com

VIVA – Pernikahan poliandri merupakan sebuah bentuk hubungan pernikahan perempuan dengan banyak laki-laki atau suami. Tapi, di era modern seperti saat ini, sebuah praktik masih dianggap tabu dan sangat jarang ditemukan di Indonesia. Sebab, praktik tersebut dianggap melecehkan martabat wanita yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Bahkan, mereka yang menerapkan poliandri sering mendapatkan stigma negatif dan tidak bermoral. 

Pengakuan Mengejutkan Melody Sharon Lindas Suaminya usai Dipergoki Selingkuh

Tapi ternyata, beberapa suku yang ada di dunia pernah dan masih menerapkan praktik tersebut. Bahkan, seorang tamu yang berkunjung diperbolehkan untuk meniduri istri dari pemilik rumah tersebut. Nah, berikut adalah ulasan tentang praktik pernikahan poliandri yang dilakukan oleh beberapa suku di dunia seperti dirangkum VIVA dari berbagai sumber. 

1. Suku Toda, India

Peringati Hari Ibu, Kanim Bekasi Beri Layanan Prioritas Keimigrasian untuk Ibu Hamil dan Menyusui

Suku yang mendiami Bukit nilgiri, India Selatan telah berabad-abad mempraktikan poliandri. Mereka menerapkan praktik fraternal atau para laki-laki bersaudara akan berbagi istri. Dengan kata lain, ketika perempuan menikahi laki-laki, secara otomatis perempuan tersebut juga menikahi saudara laki-laki suaminya. 

Bila sang istri hamil, suami pertama yang akan memberikan upacara busur atau panah ke istri dan menjadi ayah untuk anak pertamanya tersebut. Kemudian bila sang istri kembali hamil, maka suami kedua yang akan melaksanakan upacara serupa dan menjadi ayah dari anak tersebut. Tapi, kini hal tersebut sudah dilarang. 

Melody Istri yang Tega Lindas Suami Sempat Pergi ke Bali Bareng Pacar Sebelum Kepergok

2. Suku Guanches, Kepulauan Canary

Suku Guanches merupakan penduduk asli Kepulauan Canaru di barat laut pesisir Afrika. Pada abad ke-14 dan ke-15, pernah ada wabah kelaparan di daerah ini yang menyebabkan terjadinya ketimpangan jumlah penduduk lantaran banyaknya anak perempuan tewas. 

Jumlah penduduk pria jauh lebih banyak ketimbang perempuan. Akhirnya mereka kerap mempraktikkan poliandri, sehingga banyak perempuan di suku tersebut yang dapat menikahi maksimal lima pria sekaligus. 

3. Suku Maasai, Kenya

Walaupun sebagian masyarakatnya menerapkan praktik poligami, suku yang menduduki wilayah danau besar di Afrika tersebut juga menerapkan praktik poliandri. Bila kamu seorang perempuan yang menikahi laki-laki, maka secara otomatis ia menikahi teman-teman sebayanya. 

Bila teman suaminya berkunjung, sang suami harus merelakan ranjangnya ke tamunya itu dengan sang istri. Semua anak yang dilahirkan juga akan dianggap anak sang suami. Tapi, praktik tersebut kini telah ditingalkan. Saat ini, perempuan suku Maasai boleh memilih mau atau tidak menemani tamu suaminya. 

4. Penduduk Tibet, China

Penduduk Tibet yang berada di pegunungan membuat beberapa lahan pertanian sulit ditanami dan memerlukan banyak kekuatan fisik. Perempuan pada akhirnya menikahi banyak suami lantaran mereka lebih kuat dan dapat membantu untuk mengurus lahan pertanian. Dalam tradisi masyarakat, pernikahan telah dirancang sejak anak-anak mereka masih kecil. 

Dalam rumah tangga poliandri tersebut, saudara laki-laki tertua akan menjadi kepala rumah tangga, sementara saudara laki-laki lainnya akan berbagi pekerjaan secara adil. Namun, mereka memiliki hak yang sama untuk berhubungan intim dengan sang istri. Sang istri juga harus memperlakukan mereka dengan adil. 

Anak-anak juga harus memandang mereka sebagai paman dan sebagai ayah. Tapi, umumnya mereka hanya akan memanggil ayah kepada suami tertua yang masih hidup. 

5. Suku Mosuo

Suku Mosuo yang berada di tepi sungai Lugu pegunungan Himalaya ini mempraktikkan poliandri melalui tradisi nikah jalan. Zaman dulu, wilayah tersebut dikenal sangat miskin, dan bahkan saking miskinnya mereka tidak sanggup membentuk keluarga terpisah dari orang tuanya. 

Solusinya, para pria suku ini harus berjalan mengunjungi wanita dari rumah ke rumah pada malam hari. Bila sang wanita mengizinkan, si pria boleh bermalam di sana. Dengan kata lain, wanita boleh memilih dan berganti pasangan sesuka hatinya. Menganut prinsip matrilineal, tradisi ini dipandang merugikan wanita. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya