Kisah Srikandi Berbaju Chong Sam, Sosok Kartini yang Tak Disorot
- freepik by freepik
VIVA – Tanggal 21 April, 143 tahun lalu, Raden Ajeng Kartini, lahir dalam sebuah keluarga bangsawan di Jawa Tengah, tepatnya di kota Jepara. Hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini, sebagai sebuah penghormatan bagi kiprah sang putri bangsawan dalam melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki yang membatasi perempuan untuk memperoleh pendidikan.
Jengah dengan praktik budaya patriarki yang saat itu dianggap wajar, Kartini, mengupayakan pendidikan bagi perempuan Indonesia. Berkat upaya tersebut, perempuan Indonesia secara bertahap berhasil meraih kemajuan sehingga memiliki kontribusi makin penting bagi kemajuan bangsa.
Kartini ternyata bukan satu-satunya wanita yang melakukan perjuangan bagi bangsa, dan bagi kaum perempuan khususnya. Di Jawa Barat, terdapat Dewi Sartika, yang juga berperan penting dalam pendidikan kaum wanita di sekitar tempat tinggal beliau.
Selain itu, di Sumatera Barat, nama Ibu Rangkayo Rasuna Said sangat populer. Tidak hanya itu, masih terdapat nama-nama lain dari berbagai daerah di negeri ini. Menarik untuk dicatat, bahwa ternyata para wanita dari masyarakat Tionghoa pun tak ketinggalan.
Pada era yang kurang lebih sama dengan masa hidup Kartini, terdapat sosok-sosok perempuan Tionghoa yang turut berperan dalam memajukan bangsa Indonesia.
*Di awal abad ke-20 terdapat sosok perempuan Tionghoa bernama Auw Tjoei Lan, yang lebih dikenal dengan sebutan Ny. Lie Tjian Tjoen," kata Junianti Hutabarat, M.A, peneliti dari Forum Sinologi Indonesia (FSI), dalam keterangannya, Jumat 22 April 2022.
FSI sendiri adalah sebuah lembaga riset yang berkiprah pada penelitian mengenai hubungan Indonesia – Tiongkok dan etnik Tionghoa di Indonesia. Menurut penuturan Junianti, Ny. Lie Tjian Tjoen ini bersuamikan seorang kapitan Tionghoa, yaitu Tuan Lie Tjian Tjoen.
"Ny. Lie bersama rekannya, dr. Zigman, pendeta D. Van Hindeloopen, dan Sutan Temanggung mendirikan yayasan Atie Soeci (Hati Suci) pada tahun 1914," ujarnya.
"Yayasan Hati Suci ini dengan sengaja didirikan untuk menolong perempuan-perempuan korban perdagangan manusia yang didatangkan dari Tiongkok ke Hindia Belanda," lanjutnya.
Bagi peneliti yang dalam FSI menjabat sebagai koordinator kluster penelitian etnik Tionghoa ini, Ny. Lie Tjian Tjoen merupakan sosok yang beberapa langkah lebih maju dari zamannya, zaman di awal abad lalu. Di zaman itu, gerakan perempuan belum bergema di Nusantara.
"Namun Ny. Lie telah bergerak untuk memperjuangkan perempuan-perempuan yang tidak bernasib mujur setibanya di Hindia Belanda. Saking fenomenalnya sosok dan karya sosial Ny. Lie ini, kiprahnya termahsyur sampai ke Belanda, bahkan terdengar hingga ke telinga Ratu Wilhemina," tandasnya.
Menurut Junianti, Sang ratu kemudian mengganjarnya dengan sebuah penghargaan bernama Ridder in de Orde van Oranje Nassau, yang merupakan sebuah penghargaan penghormatan yang bergengsi. Bagi Junianti, kiprah wanita Tionghoa seperti Ny Lie perlu perlu diingat.
"Mengenang dan mencatat sejarah perempuan Tionghoa membuat ingatan kita menjadi utuh tentang sejarah bangsa kita sebagai bangsa yang multikultural, di mana orang-orang Tionghoa Indonesia, khususnya perempuan, juga telah ambil bagian di dalamnya,” pungkasnya.
Apalagi menurut Juniarti, para srikandi Tionghoa tersebut bukan hanya hadir di masa lalu.
"Mereka juga hadir di masa kini, dan sangat aktif dalam perjuangan bagi Indonesia yang lebih demokratis di era pasca Orde Baru ini," imbuh Junianti.