Biografi R.A. Kartini, Pahlawan Perempuan Indonesia

Raden Ajeng Kartini.
Sumber :
  • Tropenmuseum

VIVA – Biografi R.A. Kartini selalu mengingatkan kita akan jasa-jasanya terlebih kepada perempuan Indonesia. Raden Adjeng Kartini membuka sekolah dasar pertama Indonesia bagi perempuan pribumi yang tidak membeda-bedakan berdasarkan status sosial pada tahun 1903. Ia berkorespondensi dengan pejabat kolonial Belanda untuk memajukan emansipasi perempuan Jawa sampai kematiannya, pada 17 September 1904, di Rembang Kabupaten, Jawa. Pada tahun 1911, surat-suratnya diterbitkan.

Peringati Hari Ibu, Kanim Bekasi Beri Layanan Prioritas Keimigrasian untuk Ibu Hamil dan Menyusui

Kartini lahir dari keluarga bangsawan pada 21 April 1879, di desa Mayong, Jawa Tengah. Ibu Kartini, Ngasirah, adalah putri seorang ulama. Ayahnya, Sosroningrat, adalah seorang bangsawan Jawa yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda sebagai gubernur Kabupaten Japara. Ini memberi Kartini kesempatan untuk bersekolah di sekolah Belanda, pada usia 6 tahun. Sekolah itu membuka matanya terhadap cita-cita Barat, Kartini juga fasih berbahasa Belanda. 

Selama ini Kartini juga mengambil pelajaran menjahit dari istri bupati lain, Ibu Marie Ovink-Soer. Ovink-Soer adalah seorang sosialis dan feminis yang berdedikasi, ia menyampaikan pandangan feminisnya kepada Kartini, dan karena itu  yang membangkitkan jiwa aktivisme Kartini di kemudian hari. 

Mengintip Perayaan Hari Ibu di Berbagai Negara, Ada yang Sampai Pergi ke Pemakaman

Dididik di Sekolah Belanda

Sejak kecil, Kartini sangat aktif bermain dan suka memanjat pohon. Dia mendapat julukan "burung kecil" karena terus-menerus melayang-layang. Seorang pria dengan sikap modern, ayahnya mengizinkannya bersekolah di sekolah dasar Belanda bersama saudara-saudaranya. Belanda telah menjajah Jawa dan mendirikan sekolah-sekolah yang terbuka hanya untuk orang Eropa dan putra-putra Jawa yang kaya. Karena keturunan yang mumpuni dan kecenderungan intelektualnya, Kartini menjadi salah satu wanita pribumi pertama yang diizinkan belajar membaca dan menulis dalam bahasa Belanda.

Golkar Rayakan Hari Ibu dengan Bedah Buku dan Pemberdayaan Perempuan

Terlepas dari izin ayahnya untuk memberinya pendidikan dasar, menurut adat Islam dan tradisi Jawa yang dikenal sebagai pingit, semua gadis termasuk Kartini terpaksa meninggalkan sekolah pada usia 12 tahun dan tinggal di rumah untuk belajar keterampilan mengurus rumah. Pada titik ini, Kartini harus menunggu seorang pria untuk meminangnya. Disaat Kartini yang masuk kelas atas pun tidak bisa menyelamatkan dirinya dari tradisi diskriminasi terhadap perempuan ini, yaitu pernikahan dini. Bagi Kartini, satu-satunya jalan keluar dari gaya hidup tradisional ini adalah menjadi perempuan mandiri.

Sekolah Terbuka untuk Anak Perempuan

Berjuang untuk beradaptasi dengan isolasi, Kartini menulis surat kepada Ovink-Soer dan teman sekolah Belandanya, memprotes ketidaksetaraan gender dalam tradisi Jawa seperti kawin paksa di usia muda, yang menghalangi kebebasan perempuan untuk mengenyam pendidikan.

Ironisnya, saat Kartini ingin melepaskan diri dari belenggu itu, Kartini mendapat lamaran pernikahan yang dijodohkan oleh ayahnya. Pada tanggal 8 November 1903, ia menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat. Joyodiningrat yang saat 26 tahun lebih tua dari Kartini, dan sudah memiliki tiga istri dan 12 anak. Padahal Kartini baru saja ditawari beasiswa untuk belajar di luar negeri, dan pernikahan itu memupus harapannya untuk menerimanya. Kartini saat itu sudah berusia 24 tahun, sudah terlalu tua untuk menikah secara baik. Kartini pun menjadi korban poligami.

Berniat menyebarkan pesan feminisnya, dengan persetujuan suami barunya, Kartini segera merencanakan untuk memulai sekolahnya sendiri untuk anak perempuan Jawa. Dilansir dari ecyclopedia.com, dengan bantuan dari pemerintah Belanda, pada tahun 1903 ia membuka sekolah dasar pertama di Indonesia untuk gadis pribumi yang tidak membeda-bedakan status sosial mereka. Sekolah itu didirikan di dalam rumah ayahnya, dan mengajarkan anak perempuan kurikulum progresif berbasis Barat. Bagi Kartini, pendidikan ideal bagi seorang remaja putri mendorong pemberdayaan dan pencerahan. Dia juga mempromosikan tentang pentingnya pendidikan seumur hidup mereka. Untuk itu, Kartini secara teratur berkorespondensi dengan feminis Stella Zeehandelaar serta banyak pejabat Belanda dengan wewenang untuk memajukan emansipasi perempuan Jawa dari hukum dan tradisi yang menindas. Dari surat-suratnya juga mengungkapkan keresahannya dengan nasionalis Jawanya. Kartini saat itu juga menerbitkan makalah berjudul "Ajarkan Orang Jawa".

Kematian dan Peninggalannya

Pada 17 September 1904, dalam usia 25 tahun, Kartini meninggal di Kabupaten Rembang, Jawa, akibat komplikasi melahirkan anak pertamanya. Tujuh tahun setelah kematiannya, salah satu korespondennya, Jacques H. Abendanon, menerbitkan kumpulan surat Kartini yang berjudul "Dari Gelap Menuju Terang: Pikiran Tentang dan Atas Nama Orang Jawa". Di Indonesia, Hari Kartini masih diperingati setiap tahun pada hari ulang tahun Kartini di tanggal 21 April. 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya