Kemdikbudristek Optimalkan Sekolah Inklusif Ubah Stigma Disabilitas
- Freepik
VIVA – Stigma masyarakat terkait penyandang disabilitas masih kerap menjadi permasalahan dalam dunia pendidikan. Hal ini pun hendaknya harus menjadi perhatian serius melalui kebijakan sekolah inklusif.
Berangkat dari poin itu, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) melalui Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Dr Samto menegaskan skema yang diharapkan menjadi salah satu solusi dari kondisi tersebut.
Dr Samto mengatakan mulai tahun ini seluruh satuan pendidikan khususnya yang berstatus negeri sudah diwajibkan ada lima persen untuk anak-anak disabilitas dari penerimaan peserta didik baru (PPDB).
"Tahun ini kami sudah mewajibkan sekolah khususnya negeri dalam penerimaan peserta didik baru menyediakan alokasi lima persen untuk anak-anak disabilitas. Sekolah umum harus menerima siswa yang berkebutuhan khusus sesuai dengan kebijakan yang telah dikeluarkan.
"Namun, bagi sekolah yang tidak memiliki kemampuan untuk melayani diberikan solusi untuk memindahkan siswa tersebut ke sekolah yang lebih mampu," tutur Dr Samto dalam webinar “Rencana Aksi Nasional: Memasuki Era Perluasan Pembangunan Inklusif Penyandang Disabilitas” secara daring di Jakarta, Selasa 24 Agustus 2021.
“Yang penting diterima dulu, kalau tidak, yang penting dilayani. Solusi diberikan pada sekolah yang bisa di kabupaten itu. Jadi tidak ada penolakan kepada anak berkebutuhan khusus. Itu yang kita lakukan melalui PPDB di tahun 2021 ini dan 2022 akan terus begitu,” lanjutnya.
Samto menjelaskan, kebijakan tersebut diambil untuk mengatasi masalah kesenjangan dalam aspek pendidikan yang masih dialami oleh penyandang disabilitas.
Kesenjangan itu terjadi karena beberapa sekolah umum memiliki keterbatasan untuk mengajar siswa disabilitas dan jumlah sekolah berkebutuhan khusus yang masih terbatas.
Penyebab lainnya dikarenakan beberapa siswa penyandang disabilitas, memiliki kebutuhan khusus yang lebih spesifik dari siswa lainnya seperti siswa berkebutuhan khusus ganda, yakni penyandang tuna netra sekaligus tuna rungu.
Ia mengungkapkan, sebesar 35 persen anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum dapat terlayani dengan baik. Hal itu disebabkan karena saat ini hanya ada sekitar 2.500 sekolah berkebutuhan khusus dan sekitar 124.000 sekolah inklusif yang dapat menerima anak berkebutuhan khusus di luar Sekolah Luar Biasa (SLB) saat ini.
“35 persen yang belum terakomodasi di bidang pendidikan ini terutama kami di Kemendikbud hanya memiliki sekitar 2.500 sekolah berkebutuhan khusus ya,” kata dia menjelaskan jumlah sekolah bagi penyandang disabilitas saat ini.
Samto mengatakan, beberapa provinsi justru ada yang belum memiliki sekolah berkebutuhan khusus seperti Sumatera Utara dan Papua Barat.
“Terutama di Papua Barat. Masih ada 10 kabupaten kota. Jadi masih banyak yang belum bisa kita berikan layanan kepada anak-anak ini salah satunya pelayanan inklusi di sekolah umum tetapi mereka yang keterbatasan itu sangat rendah artinya terbatas,” kata Samto.
Ia berharap melalui sekolah inklusif, setiap tahunnya semua anak berkebutuhan khusus dapat masuk dan mengikuti semua jenjang pendidikan.