Kesehatan Hingga KDRT, Beragam Masalah Perempuan Akibat Tekanan Sosial
- Pixabay/StockSnap
VIVA – International Women's Day atau Hari Perempuan Sedunia 2020 kembali diperingati sebagai langkah agar kaum hawa berani menentukan pilihan dan langkahnya sendiri. Hal itu juga berkaitan erat dengan cara para perempuan memilih sendiri yang terbaik untuk menjaga kesehatan reproduksinya di mana beragam tantangan masih harus dihadapi.
Tantangan tersebut membuat perempuan Indonesia masih belum benar-benar ‘merdeka’ atas kesehatan reproduksi maupun ‘berdaya’ atas perannya dalam mengambil keputusan di berbagai bidang, karena adanya berbagai tekanan sosial.
"Ditambah lagi, akses terhadap pelayanan kesehatan bagi perempuan juga belum merata, sehingga masih banyak perempuan terutama yang berada di daerah, belum mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai," ujar Head of Marketing DKT Indonesia dan Andalan, Ade Maharani, dalam siaran pers Hari Perempuan Sedunia 2020: Andalan Mengajak Perempuan untuk Bebas Memainkan Peran dan Berani Menentukan Pilihan, dikutip Senin 9 Maret 2020.
Terkait dengan permasalahan kesehatan reproduksi, misalnya, data menyebutkan bahwa dari 4,8 juta kelahiran di Indonesia setiap tahunnya, hanya 52 persen bayi di bawah umur 6 bulan yang menerima ASI Eksklusif. Ketika ditanya mengenai salah satu kendala yang menyebabkan ibu berhenti menyusui, mereka menyebutkan karena faktor stres dan tidak mendapatkan dukungan sosial yang cukup.
Tujuh persen perempuan usia muda umur 15-19 tahun sudah menjadi ibu. Selain itu, data menemukan saat ini ibu rumah tangga masih menjadi salah satu kelompok yang rentan terhadap infeksi HIV, mayoritas dari perempuan tersebut tertular dari suami.
Ditambah lagi, terdapat 11 persen perempuan Indonesia yang belum terpenuhi kebutuhannya dalam berkontrasepsi, dikarenakan kesulitan akses terhadap kontrasepsi. Tak jarang, suami juga menjadi penghalang perempuan berkontrasepsi.
"Sebuah survei pernah mengungkapkan bahwa perempuan selalu menomorduakan kesehatan dirinya sendiri, dan memprioritaskan kesehatan orang yang disayanginya baik itu suami, keluarga, maupun anak. Hal ini juga membuat perempuan akhirnya mengabaikan tentang kesehatan reproduksi mereka," ujar spesialis kandungan, dr. Dinda Derdameisya, Sp.OG.
Dalam hal pemberdayaan perempuan, data menunjukkan bahwa pada tahun 2019, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 431.471 kasus meningkat 6 persen dari tahun sebelumnya. Dari data tersebut, KDRT menjadi yang paling menonjol, disusul dengan kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas atau publik.
Ironisnya, masih ada 32 persen perempuan yang percaya bahwa seorang suami dibenarkan untuk memukuli istrinya dalam keadaan tertentu. Selain itu, kekerasan terhadap anak perempuan juga mengalami peningkatan 16 persen pada tahun 2019.
"Menjadi Perempuan Andalan bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, sudah saatnya kita sebagai perempuan saling memberikan dukungan, menjadi sahabat serta penyemangat satu sama lain, tidak menjatuhkan serta menerima adanya perbedaan sudut pandang," ujar Psikolog Analisa Widyaningrum.