Kultur Kompetisi Ibarat 'Finite Games', Harus Ada Menang dan Kalah

Ilustrasi anak sekolah.
Sumber :
  • Freepik/pressfoto

VIVA – Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebut bahwa saat ini terdapat 136,18 juta angkatan kerja Indonesia. Dari total angka ini, sebesar 129,36 juta atau 95 persen di antaranya bekerja. Lalu, ada 6,82 juta atau 5,01 persen lainnya masih menganggur.

Bangga, Siswa SMP Indonesia Juara Kompetisi JA SparktheDream Asia Pasifik

Meski begitu, Indonesia masih kalah dari Laos dan Kamboja, yang secara berurutan mencatatkan 0,60 persen dan 0,10 persen pengangguran dalam data Badan Pusat Statistik (BPS).

Artinya, ini memang menjadi angka terendah dalam sejarah Indonesia, tetapi tetap menjadi yang tertinggi kedua di Asia Tenggara.

Ungkap Tantangan di Comic 8, Oki Rengga: Penilaian Gak Cuma dari Stand Up

Untuk mengejar ketertinggalan di sektor sumber daya manusia (SDM), perlu ditekankan adanya kultur kolaborasi ketimbang menerapkan kultur kompetisi, khususnya di dunia pendidikan, karena dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal mengingatkan, paradigma masyarakat akan pendidikan harus diubah. Begitu pula dengan orientasi kebijakan pendidikan pemerintah juga harus berubah agar sesuai dengan tuntutan zaman.

Viral Lomba Mirip-miripan Nicholas Saputra, Pemenang Bawa Pulang Rp500 Ribu

"Model kolaborasi inilah yang akan dijadikan acuan untuk mempercepat proses transformasi ekosistem sekolah menyenangkan, yang terbukti lebih memanusiakan siswa dan guru di sekolah," kata dia di Jakarta, Kamis, 17 Oktober 2019.

Rizal melanjutkan, dalam prosesnya, ia berjuang untuk mengubah nalar standardisasi yang mengacu pada konten, menjadi nalar personalisasi yang mengutamakan pengembangan keterampilan sosial dan untuk menyiapkan warga dunia di era tanpa batas seperti sekarang.

Kultur kolaborasi akan otomatis terbentuk dan ini adalah satu kemampuan yang dibutuhkan bangsa untuk menghadapi tantangan di era revolusi industri 4.0 yang kian rumit.

Jika dalam permainan, kultur kompetisi ini layaknya seperti permainan 'Finite Games' yang harus memiliki pihak yang menang dan kalah dalam batas waktu permainan tertentu.

"Jadi kultur kompetisi ini tidak tepat jika ditujukan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas karena pengembangan SDM butuh medan area 'Infinite Games'," kata Rizal, menambahkan.

Menurutnya, sumber daya manusia (SDM) adalah medan area yang pengembangannya dilakukan terus-menerus tanpa batas waktu. Dengan demikian, yang dibutuhkan justru energi dan keinginan untuk terus meningkatkan diri baik dalam perencanaan, proses, hingga hasil.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya