Saprahan, Tradisi Makan Bersama di Pontianak yang Kaya Filosofi
- VIVA.co.id/Ngadri (Kalimantan Barat)
VIVA – Memperingati hari jadi ke-248 Kota Pontianak, TP PKK Kota Pontianak menyelenggarakan Lomba Inovasi Saprahan pada Kamis, 17 Oktober 2019. Lomba ini juga digelar untuk melestarikan budaya daerah sebagai warisan budaya.
Ketua TP PKK Kota Pontianak, Yanieta Arbiastutie Kamtono mengatakan Lomba makan saprahan digelar agar masyarakat lebih mengenal budaya daerahnya. Lomba tahun ini digelar berbeda dengan tahun sebelumnya.
"Lomba saprahan tahun ini ditambah dengan unsur inovasi untuk menggali kreativitas para kader PKK dan generasi muda dalam kreasi menu berbahan dasar ikan. Penambahan ini bukan berarti TP PKK ingin mengubah tradisi saprahan, tetapi ingin memperkaya tradisi yang sudah ada," kata Yanieta Arbiastutie Kamtono kepada VIVA.
Yanieta menambahkan, lomba saprahan digelar dengan menyelaraskan antara tradisi dan program pemerintah. Salah satunya program gemar makan ikan. Ikan adalah salah satu sumber protein hewani yang paling kaya nutrisi. TP PKK pun mencoba menyelaraskan antara budaya saprahan dengan gerakan memasyarakatkan makan ikan.
Sementara itu, Walikota Pontianak Edi Rusdi Kamtono mengatakan, Saprahan merupakan salah satu warisan budaya yang telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda. Selain itu, termasuk pula arakan pengantin, paceri nanas, meriam karbit, dan lainnya. Pemerintah Kota Pontiakan ingin menjadikan Pontianak sebagai salah satu kota budaya yang harus terus meningkatkan inovasi dan kreativitasnya.
"Saya berharap dengan lomba inovasi saprahan ini memberikan nilai edukatif bagi generasi muda untuk terus pertahankan budaya ini," ujar Edi
Makan saprahan ini biasanya diselenggarakan untuk menerima tamu, penghormatan, acara pernikahan dan sebagainya. Saprahan merupakan tradisi makan bersama dengan duduk bersila dan menjadikan silaturahmi semakin akrab. Inilah budaya melayu yang patut pertahankan.
Pada saat ini, banyak juga rumah makan atau restoran yang menghidangkan makan saprahan. Intiny,a bagaimana pada saat makan bersama itu ada nilai atau filosofi dan kearifan lokal yang memberikan nilai positif bagi semua.
"Mudah-mudahan melalui kegiatan ini bisa menumbuhkembangkan ekonomi kreatif dan pertumbuhan ekonomi, baik dari sisi kuliner, fashion dan kreativitasnya," kata Edi.
Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan menuturkan, filosofi pertama dalam makan saprahan adalah mempererat silaturahmi. Filosofi kedua adalah tidak membeda-bedakan status sosial, semua sama duduk bersila di lantai, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Saprahan adalah budaya nenek moyang yang perlu ditanamkan.Â
"Sekarang ini penetrasi budaya-budaya modern masuk ke Indonesia yang tidak menutup kemungkinan budaya-budaya kearifan lokal yang ada dikhawatirkan tergerus kalau tidak dilestarikan. Kalau bukan kita yang melestarikannya, siapa lagi. Saya khawatir, kalau ini tidak dilestarikan, takutnya anak cucu kita nanti tidak tahu bagaimana budaya saprahan itu. Setidak-tidaknya kita lakukan di rumah kita sendiri," ujarnya.