Di Balik Alasan Ayah Biarkan Putranya Putus Sekolah Demi Main Game
- Pixabay
VIVA – Di saat orangtua di seluruh dunia khawatir dengan lamanya waktu yang dihabiskan anak bermain video game di komputer, seorang ayah di Kanada justru mengeluarkan anaknya dari sekolah untuk fokus bermain game. Tentu keputusan tak biasa itu menuai kontroversi.
Dave Herzog, ayah berusia 49 tahun dari Sudbury, Kanada, selama ini 'mendidik' putranya, Jordan untuk berkarier di dunia eSport selama lebih dari 10 tahun. Dave yang juga seorang gamer mengklaim, dia sudah memberikan gaming controller kepada putranya saat masih berusia 3 tahun. Tidak butuh lama bagi putranya untuk memperlihatkan bakatnya dalam bermain game.
Sebelum berusia 7 tahun, dia sudah menjadi pemain Halo yang andal, dan pada usia 10 tahun dia sudah mendominasi gamer-gamer lokal yang sudah dikenalkan oleh Dave. Hingga ketika Jordan memenangkan turnamen Halo pertamanya yang berhadiah pakaian game senilai US$2.000 atau sekitar Rp27,9 juta, barulah Dave Herzog menyadari putranya bisa berkarier di jalur tersebut.
"Sekali dia menang, mudah untuk benar-benar total menjalaninya," kata Dave kepada The Boston Globe, seperti dilansir dari Oddity Central.
Jordan 'Crimz' Herzog yang berusia 16 tahun kini menjadi salah satu pemain Fortnite paling berhasil di dunia. Tahun ini, ia mendapat kualifikasi untuk World Fortnite Championship bersama dengan 200 pemain lainnya dari seluruh dunia. Dia bertanding untuk mempertaruhkan hadiah sebesar US$30 juta atau sekitar Rp419 miliar.
Meski ayah Jordan yakin ia punya bakat dari lahir untuk game, tapi keberhasilannya tidak sepenuhnya karena bakat. Jordan menghabiskan antara 8-10 jam setiap hari bermain Fortnite, makan di depan layar komputernya supaya dia bisa menonton YouTube dan berbicara dengan timnya. Selain itu, dia menghadiri kelas online, sehingga tidak kehilangan banyak waktu dari keyboard-nya.
Dave mengeluarkan Jordan dari sekolah tahun lalu. Istrinya awalnya memprotes keputusan itu, tapi ia tidak menyesali keputusan tersebut. Bahkan, setelah Jordan masuk kualifikasi turnamen utama Fortnite tahun ini, dia mengirim email kepada sekolah putranya untuk memberi tahu berapa banyak uang yang bisa didapatkan Jordan jika ia mendapatkan peringkat yang baik.
Ada sejumlah kontroversi atas keputusan Dave. Orang-orang menuduhnya melakukan eksploitasi anak, tapi Dave menilai itu hanya masalah persepsi. Ia mengatakan, jika itu adalah olahraga atau piano, orang akan baik-baik saja, tapi karena ini adalah video game, ini adalah eksploitasi.
Meski begitu, Dave mengakui karena gaya hidupnya, Jordan mungkin tidak bisa mengalami kehidupan remaja pada umumnya. Tapi, apa yang didapat setimpal dengan pengorbanannya.
"Saya tidak bodoh. Saya tahu ada interaksi sosial yang Anda, saya, dan sebagian orang punya itulah yang dia lewatkan, tapi dia punya momen besar sekarang, dan kami harus memanfaatkan itu," kata Dave.
Sedangkan bagi Jordan, dia merasa beruntung memiliki ayah yang mendukung dirinya seperti yang dikakukan Dave. Dia sadar dirinya akan kehilangan banyak hal, seperti nongkrong bersama teman di sekolah, tapi ia melihatnya sebagai pengorbanan yang penting. Cita-citanya adalah mengumpulkan uang banyak supaya tidak perlu bekerja di sisa usianya, meski artinya harus menghabiskan sebagian besar waktunya bermain video game.
"Teman datang dan pergi, tapi ini bisa menjadi karier saya dan masa depan saya," ujar Jordan.
Jordan sejauh ini sudah mendapatkan sekitar US$60 ribu atau sekitar Rp838,5 juta. Uang itu rencananya akan diinvestasikan oleh Dave untuk Jordan, tapi ini hanya awalnya saja. Dave yakin putranya punya peluang membangun karier cemerlang, karier yang punya ketenaran, kehormatan, dan penghasilan yang satu hari nanti bisa mencapai miliaran dolar atau triliunan rupiah. (row)