Menyoal Sampah Makanan dan Plastik di Bulan Ramadan
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Bulan Ramadan menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu masyarakat muslim dunia. Bicara soal Ramadan, tentu saja lekat dengan beragam jenis sajian melimpah saat berbuka. Tetapi, yang menyedihkan adalah sisa makanan yang seringkali justru berakhir di tempat sampah.
Dan yang mengejutkan lagi, Indonesia berada di posisi kedua setelah Arab Saudi sebagai negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia. Dan bukan rahasia lagi bahwa jumlah sampah makanan selalu meningkat selama bulan Ramadan. Hal ini diungkapkan oleh Co-Founder Program Manager Parongpong, Gadis Prameswari.
“Buat ngomongin peningkatan bulan Ramadan kita belum punya data, tapi setidaknya ada tambahan 500 ton sampah makanan khusus Ramadan,” kata dia saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Selasa, 23 April 2019.
Melihat angka sampah makanan yang begitu besar, Gadis memberikan beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh masyarakat.
“Kita harus sadar berapa banyak makanan yang mau dimakan dan berapa banyak kemungkinan yang bisa kita habiskan,” ucapnya.
Selain itu, bagi masyarakat yang mengadakan buka puasa bersama di rumah atau di tempat-tempat makan, bisa memilih untuk menyediakan makanan ala buffet atau prasmanan.
“Kalau bicara buffet pasti mahal dan orang akan banyak ambil dan terbuang itu mitos. Penelitian saat menyediakan ala buffet, orang cenderung sedkit mengambil makanan,” ujarnya.
Dia melanjutkan, sampah di bulan Ramadan juga bukan hanya menyoal sampah makanan. Sampah packaging atau kemasan ternyata juga menjadi masalah.
“Data kami di masjid (kemasan) bekas takjil banyak banget. Untuk itu, bisa bikin tempat minum yang bisa pakai ulang. Misalnya cup mineral biasanya pakai plastik, diganti menjadi gelas melamin. Meski sebenarnya dua kali lebih mahal, tapi worth it untuk dipakai ulang,” katanya.
Gadis pun memberikan penjelasan terkait dengan dampak sampah organik (sisa makanan) dan sampah residu berupa kemasan makanan dari plastik yang berbahaya bagi masyarakat.
“Sampah organik yang terlalu banyak di tempat pembuangan bisa menyebabkan ledakan. Seperti kejadian di TPS Gajah Luwi beberapa tahun lalu yang menyebabkan korban jiwa. Karena sampah organik itu mengandung gas metan,” ucap Gadis.
Sedangkan untuk sampah residu seperti plastik, perlu waktu sekitar 10 tahun terurai menjadi mikroplastik. Nantinya, mikroplastik itu bisa masuk ke tubuh kambing, sapi hingga ikan karena makanan mereka tercemar sampah. Manusia pun berisiko tinggi terpapar mikroplastik ketika mengonsumsi daging kambing, sapi hingga ikan tadi.