Keren, Mereka Punya Cara Unik Ajak Orang Kurangi Sampah Makanan

Jaqualine dan Klaudia Roseline
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bimo Aria

VIVA – Banyak orang sering tak menyadari saat tidak menghabiskan makanan. Padahal, jika setiap orang Indonesia membuang satu butir nasi, maka ada sekitar 265 juta butir nasi yang terbuang. Jumlah ini tentunya akan lebih besar jika yang terbuang hampir satu piring penuh.

Kisah Muiz Bocah 12 Tahun yang Rawat 7 Adiknya, Rela Jualan Demi Penuhi Kebutuhan Sehari-hari

Dalam sebuah kesempatan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua penghasil sampah makanan terbesar di di dunia setelah Arab Saudi. Data Food sustainability Index (FSI) yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) Foundation pada 2017 lalu juga menempatkan Indonesia pada peringkat 21. Artinya, pengelolaan pangan Indonesia masih sangat tertinggal dari negara lainnya.

Semua itu yang kemudian membuat Jaqualine dan keempat temannya menginisiasi sebuah gerakan bernama Food Sustainesia. Gerakan ini dimulai pada 2018. Ditemui VIVA, dalam sebuah acara di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta, perempuan berusia 22 tahun ini melihat adanya ketimpangan dalam pengelolaan sumber makanan di Indonesia.

Belajar dari Manusia Rp2.000 Triliun Jensen Huang: Filosofi Hidup Tukang Kebun yang Bikin ‘Kaya Raya’

"Kita tuh yang di urban gampang banget dapetin daging, padahal kita tahu daging merah itu dampaknya apa bagi kesehatan dan lingkungan. Sementara di sisi lain, di belahan lain Indonesia kurang dapat akses untuk mendapat yang sama," kata lulusan Teknik Pangan Surya University ini kepada VIVA.

Padahal, lanjut dia, ketimpangan itu seringkali menjadi penyebab masalah gizi di Indonesia, baik kelebihan gizi yang berujung pada obesitas, atau justru kekurangan gizi.

Cara PNM Dorong Pemberdayaan Ekonomi Gen Z

Ditemui di tempat yang sama, salah satu inisiator lainnya, Klaudia Roseline mengatakan bahwa di kota-kota besar, banyak supermarket yang kerap membuang bahan makanan hanya karena tidak sesuai standar. Sementara di tempat lain, banyak masyarakat yang masih membutuhkannya.

"Di kota juga banyak ketimpangan, misalnya supermarket atau toko kue, ketika ada bahan yang sudah tidak sesuai SOP, mereka buang. Jarang banget mereka mau kasih itu ke orang lain. Di sisi kota lain banyak kelaparan, jadi ada kontradiksi. Di satu sisi kelebihan, di sisi lain kelaparan," tutur Klaudia.

Karena itu, sejak Oktober 2018 lalu, dia bersama dengan beberapa temannya kerap mengampanyekan pola makan secara berkelanjutan. Ini juga berkaitan dengan dua tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs), yakni untuk mengentaskan kelaparan serta konsumsi dan produksi yang lebih bertanggung jawab.

"Dan bukan cuma organic waste, tapi juga non-organic (waste) seperti plastic waste. Jadi, kita benar-benar angkat isu berkelanjutan karena itu mempengaruhi seluruh aspek hidup kita. Kalau basic needs saja tidak terpenuhi, bagaimana yang lain?" ujar Jaqualine.

Piring Kosong

Untuk menyampaikan semua pesan itu kepada milenial lain seusianya, mereka punya cara tersendiri, yakni dengan membuat sejumlah tantangan. Salah satunya tantangan piring kosong. Jaqualine mengungkapkan bahwa generasi milenial sangatlah menyukai tantangan. Dengan tantangan yang dibuatnya bisa mengubah kebiasaan masyarakat agar lebih peduli terhadap makanan.

"Jadi kami meminta foto piringnya sebelum dimakan dan setelah habis. Kemudian minta mereka sharing gimana cara mereka menghabiskan itu. Disisihkan dulu sebelum makan atau disisakan setelah makan," ujar Jaqualine.

Untuk yang menyisihkan nantinya akan diolah lagi dan disalurkan kepada sejumlah komunitas yang membutuhkan. Dalam waktu dekat, mereka juga tengah menyusun semacam kurikulum tentang food sustainability. Nantinya materi ini akan diajarkan ke anak-anak di sekolah.

"Kami percaya kalau mau mengubah kebiasaan itu memang harus dari anak, karena kalau sudah dewasa begini susah. Jadi target kita memang menyasar ke sana," ujarnya.

Mereka ingin pada akhirnya banyak masyarakat Indonesia yang lebih paham dan lebih peduli tentang mengolah makanan secara berkelanjutan. Dengan begitu, sampah makanan dari Indonesia pun bisa berkurang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya