Tiga Lembaga PBB Desak untuk Hentikan Praktik Sunat Perempuan
- Pixabay/pexels
VIVA – Praktik sunat perempuan masih dianggap sebagai suatu hal yang wajar di Indonesia. Sejumlah klinik bahkan dengan terbuka mempromosikan praktik tersebut. Padahal, menurut, Executive Director, UN Women, Phumzile Mlambo-Ngcuka, hal itu merupakan salah satu tindakan kekerasan berbasis gender yang paling tidak manusiawi di dunia.
Dalam catatan, UN Women, Unicef dan UNFPA setidaknya ada 200 juta anak perempuan dan perempuan yang masih mengalami sunat alat kelamin itu.Â
Sebab itu pada International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation, tiga lembaga dunia itu menegaskan komitmen untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia ini.Â
"Sehingga puluhan juta anak perempuan yang masih berisiko dimutilasi pada tahun 2030 tidak mengalami penderitaan," Direktur Eksekutif, UNFPA Dr. Natalia Kanem dalam siaran pers yang diterima VIVAÂ Rabu 6 Februari 2019.Â
Ia mengatakan, bahwa upaya ini sangat penting karena mutilasi alat kelamin perempuan menyebabkan konsekuensi fisik, psikologis dan sosial jangka panjang.Â
Hal tersebut melanggar hak perempuan untuk kesehatan seksual dan reproduksi, integritas fisik, non-diskriminasi dan kebebasan dari perlakuan kejam atau merendahkan martabat.
"Ini juga merupakan pelanggaran etika medis, mutilasi sunat perempuan tidak pernah aman, tidak peduli siapa yang melakukannya atau seberapa bersih tempat tersebut," kata Natalia.Â
Phumzile melanjutkan, sunat perempuan adalah bentuk kekerasan berbasis gender, yang tidak bisa ditangani terpisah dari bentuk kekerasan lain terhadap perempuan dan anak perempuan.Â
"Untuk mengakhiri sunat perempuan perempuan, kita harus mengatasi akar penyebab ketidaksetaraan gender dan bekerja untuk pemberdayaan sosial dan ekonomi perempuan," kata Phumzile. (ldp)