Indonesia Rawan Gempa, KPAI Desak Adanya Kurikulum Darurat
- Dokumentasi KPAI
VIVA – Bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Palu dan sekitarnya mengakibatkan lebih dari 1900 korban jiwa meninggal dunia, dan lebih dari 50 ribu jiwa kehilangan tempat tinggalnya. Bukan hanya tempat tinggal, beberapa sekolah yang berada di lokasi terdampak, membuat sekolah rata dengan tanah.
Akibatnya, banyak anak korban mesti kehilangan sekolahnya. Dan terpaksa pula, mereka belajar di kelas-kelas darurat. Berkaca pada gempa di Lombok, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melihat bahwa jumlah ruang kelas darurat di setiap sekolah yang terdampak gempa jumlahnya berbeda, tergantung pada bantuan.
Hasil pengawasan menunjukkan bahwa sekolah darurat secara fisik yang ada berbentuk tenda atau terpal dan ada juga bangunan semi permanen. Tenda atau bangunan yang terbatas di sekolah darurat membuat para siswa harus menggunakan ruang kelas daruratnya secara bergantian atau dua shift, karena antara ruangan yang dibutuhkan dengan yang tersedia tidak berimbang jumlahnya, terutama untuk SMA/sederajat. Di sekolah darurat, rata-rata jam belajar berkisar 5 jam.
“Padahal pembangunan ruang kelas baru membutuhkan waktu lama, mengingat bangunan sekolah banyak yang mengalami kerusakan berat, seperti sekolah-sekolah di Lombok Utara dan Lombok Timur, apalagi sekolah-sekolah di Palu dan Donggala yang secara geografis dekat dengan pusat gempa," kata Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang pendidikan.
Sekolah-sekolah terdampak ini tidak hanya membutuhkan sekolah darurat sebelum sekolahnya diperbaiki. Namun juga, membutuhkan kurikulum sekolah darurat.
Karenanya KPAI mendesak Kemdikbud dan Kemenag untuk menyiapkan kurikulum sekolah darurat dengan pertimbangan, "Ketika saya ke Lombok Barat dan Lombok Utara, banyak anak dan guru bahwa ruang kelas tenda sangat panas mulai pukul 09.00 WITA. Dan jika di tenda, mereka kelelahan duduk bersila karena tidak dapat menggunakan meja dan kursi di kelas seperti di ruang kelas yang normal pada umumnya," kata dia.
Selain itu, keterbatasan ruang kelas dialami banyak sekolah di Lombok Utara, karena mayoritas sekolah di wilayah ini mengalami kerusakan berat sehingga perlu rehab total yang memakan waktu lama.
Karena keterbatasan ruang tersebut, maka peserta didik terpaksa bergantian menggunakan kelas sehingga jam belajar dibagi 2 shift.
“Jam sekolah yang pendek dan kondisi sekolah darurat yang tentu tidak senyaman kelas di sekolah-sekolah yang kondisinya normal, maka KPAI memandang perlu pemerintah dalam hal ini Kemdikbud dan Kemenag untuk tidak sekadar berkosentrasi pada kelas darurat, namun harus juga menyiapkan kurikulum khusus untuk sekolah darurat,” terang Retno.
Ia juga menilai bahwa sangat tidak adil jika sekolah darurat harus menerapkan kurikulum nasional yang saat ini berlaku. Sementara sarana prasarana sangat minim, kondisi pendidik dan kondisi psikologis anak-anak masih belum stabil, serta rendahnya kenyamanan dalam proses pembelajaran di kelas.
Ia mengatakan, peserta didik dan pendidik di sekolah darurat sejatinya jangan dibebani dengan beratnya kurikulum nasional yang berlaku saat ini. Namun sudah semestinya menyesuaikan kondisi riil mereka di lapangan. Oleh karena, kurikulum sekolah darurat menjadi penting dan mendesak dibuat oleh pemerintah, mengingat kondisi wilayah Indonesia yang rawan bencana.