Butet Manurung Ingin Bekerja di Hutan Sejak Kecil

Butet Manurung
Sumber :
  • VIVA/Rintan Puspitasari

VIVA – Mendengar namanya seakan langsung menyeret ingatan tentang hutan Indonesia. Siapa tak kenal sosoknya, dia adalah Butet Manurung, perintis dan pelaku pendidikan alternatif masyarakat di pedalaman Indonesia.

Belajar dari Manusia Rp2.000 Triliun Jensen Huang: Filosofi Hidup Tukang Kebun yang Bikin ‘Kaya Raya’

Meski menimba ilmu hingga ke negara asing, kecintaan pada anak-anak di suku pedalaman dan keinginan untuk memberi pendidikan layak bagi mereka telah membuat wanita berdarah Batak ini mengabdikan hidup pada suku pedalaman. Semua yang dilakukannya hingga saat ini rupanya sudah menjadi impian sejak kecil.

Pemilik nama lengkap Saur Marlina Manurung ini tinggal di keluarga Batak dan banyak mendapat larangan. Namun sisi lain dirinya muncul ketika mulai membaca buku petualangan. Dia pun mulai mengidolakan sosok Indiana Jones yang ada dalam film.

Cara PNM Dorong Pemberdayaan Ekonomi Gen Z

"Dari kecil suka baca buku petualangan, mungkin karena ayahku terlalu larang aku, pegang tanah enggak boleh, pramuka enggak boleh, pergi ke mana-mana diantar sopir. Aku justru jadi punya imajinasi sendiri. Setiap lihat di televisi ada Papua atau film Indiana Jones, aku ingin loncat masuk," ujarnya di Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Dia pun memiliki keinginan untuk bertualang ke pedalaman. Namun hal itu tak lantas membuat ayah Butet menyetujuinya. Sebuah persyaratan diberikan kepada Butet untuk bisa mencapai keinginannya.

Dulunya Tukang Cuci Piring, Pengusaha Ini Kini Punya Harta Rp1.900 Triliun

"Boleh, tapi SMP, SMA harus menurut papa," kata Butet menirukan pesan ayahnya kala itu.

Sambil menanti masa SMA selesai, Butet merancang banyak mimpi. Menurutnya, membayangkan bekerja di kota besar bukan impiannya. Impiannya justru berada di hutan bersama anak-anak suku pedalaman. Dia merasa tak ada yang salah dengan impiannya, dan merasa normal.

"Saya dari kecil bercita-cita kerja di hutan, karena saya punya pikiran kalau kerja di Jalan Sudirman pakai sepatu tinggi, takut," kelakarnya.

Dia pun tidak mau suatu hari sudah terlalu tua untuk menentukan minatnya dan kemudian menyesalinya. Karena itu, dia pun merealisasikan mimpinya dan mendirikan Sokola Rimba, meski bukan hal mudah baginya.

Beberapa kendala yang dihadapi, dari masalah postur tubuh yang dianggap terlalu tinggi dan menyulitkan saat bepergian ke dalam hutan, stigma yang menempel dalam pikiran suku pedalaman tentang wanita yang seharusnya tidak berkeliaran sendiri di hutan hingga penolakan masyarakat yang awalnya berpikir bahwa pendidikan hanya akan membuat anak-anak mereka pergi meninggalkan kampung halaman. Meski demikian, Butet tak menentang atau melawan apa yang berlaku di sana.

"Aku tunggu saja, ini 19 tahun lalu, kemudian anak muridku 19 tahun lalu menikah, punya anak perempuan, diajarin anak perempuan itu. Mereka sendiri yang mengubah persepsi itu," kata Butet.

Bukan hanya persoalan penolakan yang sempat dialami ketika berada di hutan, Butet bahkan dicap sebagai wanita yang tak laku karena tak kunjung menikah. Namun semua itu ditepisnya dengan pemikiran bahwa dengan menjadi diri sendiri suatu saat akan ada seseorang yang menerima kelebihan dan kekurangannya.

Dan benar saja, Butet kini telah menikah dan memiliki anak. Dia sangat bahagia mendapat dukungan dari suami dan anaknya. Bahkan sang suami bangga dengan apa yang dikerjakannya saat berada di hutan.

"Dulu ada yang bilang 'mana ada yang mau sama kamu,' orang di rimba juga bilang 'kamu sudah tua, sudah pahit'. Aku betul-betul percaya kalau kita jadi diri sendiri, kita enggak akan nyesel, kalaupun enggak ada yang mau, enggak akan nyesel. Daripada sudah jadi orang lain, enggak ada yang mau pula, itu kan nyesel dua kali. Kalau ini beruntung, jadi diri sendiri senang, dapat suami yang suka kita (apa adanya)," tutur wanita 46 tahun itu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya